Mohon tunggu...
Franhky Wijaya
Franhky Wijaya Mohon Tunggu... Arsitek - pemerhati bidang properti

seseorang yang ingin berbagi pengalaman karena sudah lama bekerja di bidang properti, terutama bidang perencanaan, mulai dari pengembangan landed houses, komersial, pergudangan sampai bangunan apartment.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ada "Nilai" di Dalam Sepotong Daging Rendang

14 Maret 2023   05:18 Diperbarui: 14 Maret 2023   16:00 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rendang, salah satu makanan khas Indonesia. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Kembali lagi ke nilai kemandirian. Memang “bundo kanduang” orang minang terkenal "sangat dan sangat" mandiri. Bayangkan saja, para lelaki di minangkabau sebagian besar sudah pergi merantau keluar daerah mencari nafkah. Yang tinggal di kampung hanyalah wanita-wanita minang. Dalam keadaan demikian, apakah mereka akan menjadi lemah ? Hmm, jauh dari kata lemah. 

Mereka justru menjadi penjaga kampung sekaligus menjadi tonggak untuk berlanjutnya adat istiadat di daerah itu. Kalau bukan mereka, siapa lagi? Mereka tahu apa yang terbaik buat keluarga, masyarakat sekitar dan kampungnya. Ya, mereka harus menjalani dan melakukan semuanya sendiri. Tidak ada kata manja di tingkah lakunya. Yang ada hanya bekerja untuk keluarga. Sekali lagi perlu acungan jempol untuk wanita minang ini.

Nilai ketiga adalah keharmonisan dan keterbukaan. Bumbu untuk membuat daging rendang itu menjadi enak bukan hanya satu atau dua bumbu saja. Tetapi sangat banyak “printilan” bumbu-bumbu yang lainnya. Dan semuanya digodok jadi satu. Ya, itu juga tercermin dalam gaya kehidupan mereka sehari-hari. 

Mereka sangat terbuka dalam hal beda pendapat. Dulu para lelaki minang banyak yang tinggal di surau (mesjid). Surau menjadi ramai terutama di malam hari. Di sana mereka terbiasa untuk berinteraksi dan berdiskusi satu sama lain mengenai berbagai macam tema. Sudah pasti dalam sebuah diskusi bakalan ada beda pendapat. Tidak ada masalah. Itu semua dilakukan untuk mencari jawaban yang terbaik. Istilahnya adalah “musyawarah untuk mufakat”.

RENDANG DAN ARSITEKTUR TRADISIONAL

Sebenarnya saya tidak terlalu kompeten dalam hal membahas masakan, karena saya hanya tahu bagaimana menghabiskan rendang itu. Tetapi karena ini ada kaitan dengan arsitektur tradisional minangkabau itu sendiri, akhirnya sedikit banyak saya mesti membahas masakan khas ini juga. Budaya setempat, termasuk masakan, ada kaitan erat dengan bangunan tradisional. Bahkan ada yang bilang, jika ingin mengetahui budaya suatu daerah, maka pergilah ke pasar tradisional dan lihat, apa yang mereka jual dan apa yang mereka makan. Dari situ bisa dibayangkan gaya hidup atau budaya setempat dan ini juga erat kaitannya dengan arsitektur / bangunan yang mereka dirikan. 

Pasti semua kenal dengan bangunan tradisional minangkabau ini. Ciri khasnya adalah atap gonjong. Setidak-tidaknya pasti pernah melihat di depan rumah makan Padang. Ini sudah menjadi ciri khas minangkabau di daerah perantauan. Sebenarnya juga banyak pandangan mengenai makna dari atap gonjong ini. Ada yang bilang, itu menyerupai tanduk kerbau yang menyimbolkan kemakmuran daerah dan ada juga yang berpendapat bahwa atap gonjong itu menyerupai layar kapal, karena daerah minangkabau berada di daerah pesisir pantai.

Semakin saya mempelajari arsitektur tradisional minangkabau ini, maka semakin penasaran saya terhadap filosofi yang melekat di rumah gadang (rumah tradisional minangkabau) itu sendiri.  Seperti diketahui, dinding rumah gadang itu bukan polos-polos bangat, tetapi penuh dengan ukiran dengan didominasi oleh warna merah dengan berbagai macam ragam motif.  Sebagian besar adalah motif ulir tanaman dan tentu saja ini mempunyai makna tersendiri.

Tetapi ada satu motif yang cukup menarik perhatian saya, yaitu motif “itiak pulang patang”. (itik pulang petang). Kok, bisa ya kepikiran ada motif ini ? Padahal masyarakat minangkabau merupakan masyarakat dengan penganut agama Islam, yang notabene menghindari penggambaran makhluk hidup, terutama manusia dan hewan. Tetapi karena budaya yang ada di masyarakat, jadi motif atau ragam hias ini tetap dimunculkan sebagai ragam hias di dinding rumah gadang dengan simbol huruf “S” yang disusun secara berderetan, ibarat itik yang sedang jalan beriringan. 

Kenapa ragam hias itu bisa muncul ? Menurut pandangan saya, ini tidak lepas dari filosofi daging rendang tadi, yaitu ada nilai kebersamaan dan kesabaran di dalam masyarakat minangkabau. Itik memang menjadi hewan ternak di sana. Tetapi coba perhatikan lagi, seekor itik tidak pernah jalan sendirian. Kemana-mana selalu bersama. Mereka selalu berjalan dalam kawanan yang cukup rapat.

Mereka juga "sabar" dalam berjalan. Mereka berjalan tidak dengan terburu-buru, padahal mereka bisa terbang kalau mau cepat, tetapi itu tidak mereka lakukan. Bahkan mereka bisa menjaga barisan tetap rapi dan teratur, tidak berantakan ke sana kemari. Ini menarik, bukan ? Untuk bisa hidup rukun di dalam masyarakat memang perlu memahami arti nilai kebersamaan. Dan tentu saja butuh kesabaran dalam berinteraksi dengan orang lain.  Mereka cenderung menghindari konfik langsung. Bahkan untuk menegur seseorangpun, biasanya mereka suka menggunakan peribahasa atau kata ungkapan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun