Pengertian Zaman Keemasan dan Kepentingannya
Ketika membicarakan tentang kebahagiaan sejati, kita tak bisa lepas dari cerita dan mitos yang sudah ada selama ribuan tahun. Salah satu yang paling terkenal adalah Aetas Aurea atau Zaman Keemasan, yang oleh para penyair dan filsuf kuno digambarkan sebagai masa penuh perdamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan umat manusia. Dalam mitologi Yunani dan Romawi, Zaman Keemasan ini dipandang sebagai masa ketika manusia hidup dalam keselarasan sempurna dengan alam, tanpa kerja keras, penderitaan, atau kematian. Hidup pada masa itu sangat sederhana; bumi secara sukarela menyediakan segala yang dibutuhkan, sementara manusia tidak pernah mengenal perang atau konflik.
Namun, apakah zaman ini benar-benar pernah ada, atau hanya sebuah imajinasi yang mencerminkan kerinduan manusia akan kedamaian dan kebahagiaan? Meskipun Aetas Aurea dianggap sebagai legenda, filsafat seperti Stoikisme menawarkan panduan nyata bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan sejati, tanpa harus menunggu kembalinya Zaman Keemasan yang bersifat mitologis.
Dalam pembahasan ini, kita akan melihat hubungan antara konsep Aetas Aurea dan Stoikisme---sebuah filsafat kuno yang menekankan kehidupan yang seimbang, penuh kebajikan, dan bebas dari keterikatan duniawi sebagai jalan menuju kebahagiaan. Selain itu, kita juga akan menelusuri bagaimana konsep Zaman Keemasan berkembang dalam berbagai agama dan budaya, seperti Hindu, Buddha, dan Kristen.
Aetas Aurea dalam Mitologi Yunani dan Romawi
Dalam mitologi Yunani, Hesiod, seorang penyair kuno, menceritakan tentang lima zaman dalam karya terkenalnya The Works and Days. Dari kelima zaman tersebut, Zaman Keemasan dianggap sebagai yang paling sempurna. Pada era ini, manusia hidup layaknya dewa-dewa: tanpa harus bekerja keras, tanpa merasakan penderitaan, dan tanpa mengenal kematian. Bumi dengan sendirinya memberikan segala kebutuhan---buah-buahan, sayuran, dan air yang bersih. Tidak ada penyakit, kekurangan, dan yang terpenting, tidak ada perang.
Namun, filsuf Romawi Seneca melihat konsep Zaman Keemasan ini dengan cara yang berbeda. Dalam Epistulae ad Lucilium dan De Vita Beata, Seneca mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kedamaian seperti yang digambarkan dalam Aetas Aurea sebenarnya dapat dicapai oleh setiap individu, selama mereka hidup dengan kebajikan dan tidak terikat pada harta benda. Menurut Seneca, kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam diri sendiri melalui pengendalian pikiran dan emosi.
Kebahagiaan Sejati dan Filsafat Stoik
Stoikisme menawarkan jalan praktis menuju kebahagiaan sejati, yang dalam banyak hal sejalan dengan kedamaian yang digambarkan dalam Aetas Aurea. Menurut para filsuf Stoik seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius, kebahagiaan adalah kondisi batin yang hanya dapat dicapai melalui kebajikan, akal sehat, dan kehidupan yang seimbang.
Dalam salah satu suratnya kepada Lucilius, Seneca menegaskan bahwa jiwa yang bebas dari hasrat duniawi adalah satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan sejati. Ia berpendapat bahwa banyak orang keliru dalam memahami kebahagiaan, dengan mengira bahwa status sosial yang tinggi atau kekayaan akan membuat mereka bahagia selamanya. Namun, kenyataannya, orang yang terlalu terikat pada status dan kekayaan akan selalu merasa cemas dan khawatir akan kehilangan apa yang mereka miliki. Seperti yang pernah dikatakan Seneca, "Jika kekayaanku hilang, itu tidak akan mengambil apa pun dariku kecuali dirinya sendiri." Dengan kata lain, Seneca melihat kekayaan sebagai alat, bukan tujuan hidup; ia berpendapat bahwa kekayaan dapat menjadikan kita budak dari apa yang kita miliki.
Dalam pandangan Stoikisme, kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai dengan menerima kenyataan sebagaimana adanya dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan, seperti pikiran, sikap, dan tindakan kita. Semua hal lainnya, termasuk kekayaan, kesehatan, dan bahkan kehidupan itu sendiri, tidak bisa dianggap sebagai sumber utama kebahagiaan.