Sebagaimana juga telah munculnya istilah "Islam Nusantara" yang dikembangkan oleh Nadhatul Ulama. Harapan ke depan, tidak hanya Agama Islam saja tetapi juga muncul Kristen Nusantara, Budha Nusantara, Hindu Nusantara, dan sebagainya dimana teologi dan identitas dibangun dalam konteks dan corak Nusantara.
Upaya-upaya Berteologi dalam Keberagaman Budaya dan Agama
Setiap manusia dengan identitasnya hidup berdampingan dengan orang lain yang memiliki identitas berbeda dengannya. Bahkan sering terjadi dualisme dimana seseorang memiliki dua identitas sekaligus dengan dua pola pikir yang sama atau berbeda. Hal ini disebabkan karena manusia juga adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi. Inilah konteks yang dihadapi oleh Misi. Pernyataan dan kesaksian iman kita memang harus eksklusif. Namun, sikap hidup, relasi, dan interaksi sosial dan keberagaman harus bersifat inklusif, terbuka, dan dialogis. (Darwin Lumbantobing: 2019, 75).
      Misi dan teologi dalam sejarahnya sering dipahami sebagai usaha untuk mewartakan Kristus dan menjadikan orang lain sebagai pengikut Kristus (identitas baru). Seseorang yang diinjili tersebut akan dituntun untuk keluar dari "identitas lamanya" dan masuk ke dalam suatu "identitas baru" yang disebut Kristen dengan gaya dan pola hidup berbeda dari sebelumnya. Model ini secara implisit menyatakan bahwa identitas "Kristen" sebagai satu-satunya kebenaran.
Perlahan setiap orang yang telah diinjili menganut atau disebut sebagai Agama Kristen. Agama ini terdiri dari kumpulan orang-orang yang percaya kepada Kristus dengan membentuk suatu lembaga di bidang kerohanian. Sedangkan Teologi Interkultural adalah upaya untuk mewartakan Kristus tanpa membawa suatu identitas khusus dan bukan untuk merubah identitas tertentu. Upaya ini berangkat dari persamaan cita-cita ataupun visi tanpa harus menyinggung identitas tertentu. Umumnya cita-cita tersebut yakni untuk mewujudkan damai sejahtera di seluruh ciptaan karena itu adalah hakikat dari Allah sendiri.
Dengan demikian, setiap keberagaman identitas seperti agama dan suku dapat hidup berdampingan bahkan saling mendukung untuk mencapai visi ataupun cita-cita yang lebih besar daripada sekelompok identitas, tanpa harus menunjukkan superioritas atau minoritas. Adapun tujuan komunikasi dan teologi interkultural ini ialah; terwujudnya damai sejahtera dalam kehidupan bersama. terwujudnya kesatuan dalam kepelbagaian, mengupayakan kepelbagaian unsur kehidupan sebagai dasar membangun kebersamaan dalam memaknai kehidupan, bukan perpecahan, dan sikap yang terbuka, dialogis, dan mewujudkan kesatuan dalam konteks yang lebih kompleks dan besar.
Komunikasi interkultural juga menghasilkan akulturasi. Akulturasi ialah perjumpaan dua atau lebih kebudayaan tanpa menghilangkan salah satu unsur kebudayaan. Tentu ini akan terjadi jikalau setiap orang tidak memulainya terlebih dahulu dari identitas kebudayaannya masing-masing. Ini memang sulit, karena sejak kecil setiap orang dididik dan dicondongkan kepada satu kebudayaan tertentu.
Oleh karena itu, hal yang juga perlu ialah dengan memberikan pencerahan mengenai sifat kebudayaan yang selalu dinamis dan bukan sebagai identitas tunggal. Ini dilakukan untuk menghancurkan "secara perlahan" paham-paham yang membuat suatu kebudayaan adalah superior dari yang lainnya. Budaya dan agama juga memiliki hubungan yang timbal balik dan secara dialektis berhubungan, yang saling memengaruhi dan memberikan warna. Injil dapat diakses hanya dalam bentuk yang secara budaya termediasi. (Volker Kuster: 2017, 5).
Budaya dan agama dalam memberikan pengaruh tidak dapat dipisahkan. Untuk itu, misi ataupun teologi selalu memiliki kontak dengan budaya, baik budaya si penerima maupun budaya si pengirim. Demikian juga dalam proses hermeneutis dimana Injil dan misi mula-mula juga diikat oleh konteks budaya pada saat itu, yang memiliki konteks budaya yang berbeda oleh pembaca masa kini.
Bahkan, juga dapat dipahami bahwa agama adalah suatu sistem budaya. Dalam interkultural, teologi dipahami sesuai konteks penerima atau pendengarnya. Untuk itu, teologi interkultural selalu melibatkan dan melihat bagaimana budaya setempat memahami dan menghayati suatu tradisi iman. Teologi ini cenderung lebih bersifat kontekstual dalam pluralitas agama dan budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H