Para peladang mau bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat bagi mereka untuk berladang.Â
Alam itu kemudian mereka olah dan dihasilkanlah padi beserta segala tanaman lainnya yang semuanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Hasil-hasil ladang inilah yang hendak mereka syukuri dalam gawai adat.
Ucapan syukur juga dihaturkan kepada Yang Kuasa atas penyertaan dan perlindungan-Nya selama mereka bekerja di ladang.Â
Lewat rasa syukur ini, peladang ingin dengan tulus dan rendah hati mengakui kalau mereka takakan mampu mengerjakan segala sesuatunya tanpa campur tangan dan perlindungan Tuhan.
Adapun salah satu bentuk dari ucapan syukur itu diwujudkan dalam pembuatan pegelak (sesajen). Dalam adat kami suku Dayak Desa, ada dua buah pegelak yang akan disiapkan. Kedua buah pegelak itu nantinya akan ditaruh di dalam lumbung padi.
Setelah sampai batas waktu yang ditentukan, pegelak yang satu akan diambil untuk kemudian disantap bersama oleh seluruh anggota keluarga.Â
Sementara yang satunya lagi tetap disimpan di dalam lumbung padi sebagai bentuk persembahan kepada Petara dan Puyang Gana (Sang Penguasa tanah).
Kembali ke tradisi ngabang.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,...Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat...,
Begitulah doa permohonan yang peladang lambungkan ketika memilih dan menentukan lokasi untuk berladang. Penggunaan kata "kami", bukan "aku" mau menunjukkan adanya kepedulian dan tanggung jawab sosial dalam diri para peladang terhadap sesamanya.
Bagi masyarakat Dayak, berladang bukan melulu berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga. Ia selalu menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak.