Mereka yang hidup di bumi Kalimantan, sudah layak dan sepantasnya menghaturkan syukur kepada Tuhan, pencipta semesta alam atas kebaikan-Nya karena telah menganugerahkan alam yang begitu indah, beserta dengan segala isinya yang bisa dinikmati secara gratis.
Sayangnya, di beberapa tempat ragam isi alam itu tidak bisa lagi dinikmati oleh masyarakat karena hutan yang dulu rindang, kini sudah berganti menjadi lahan perkebunan. Sungguh memilukan!
Segala sesuatu yang gratis memang mengandaikan bahwa orang bisa mengambilnya dengan sesuka hati. Namun, tidak demikian dalam masyarakat Dayak Desa.Â
Ada prinsip hidup bersama yang selalu dijadikan pedoman dalam menikmati segala sesuatu yang tersedia di alam.
Dalam artikel berikut ini, saya akan berangkat dari air (sungai) untuk menunjukkan bagaimana masyarakat Dayak Desa menghayati prinsip hidup bersama tersebut.
Seperti ladang (dua artikel saya terakhir), begitu pun sungai memberi inspirasi dalam mengurai dan merenungi makna kehidupan sebagai manusia. Sebab bagi masyarakat Dayak Desa, sungai juga menjadi arena dalam merayakan dan menghidupi kebersamaan.
Perayaan dan penghayatan atas kebersamaan itu hadir dalam sebuah aktivitas komunal yang dalam masyarakat Dayak Desa dikenal dengan nama "mansai".
Di daerah kita masing-masing, pastilah tradisi mansai ini masih ada. Dan barangkali juga ada dari antara kita yang masih sering dan sangat senang melakukannya.
Sebuah aktivitas yang terlihat biasa-biasa saja memang. Akan tetapi dalam masyarakat Dayak Desa, di balik aktivitas ini terkandung nilai luhur hidup bersama yang tercetus dalam semboyan: KALAU ABIH SAMA AMPIT.