Salah satu mimpi terbesar dalam hidup saya ialah menulis sebuah artikel opini, lalu mengirimkannya ke sebuah surat kabar. Ketika membaca kolom opini dalam surat kabar, saya selalu membayangkan betapa bahagianya bila suatu hari tulisan saya terpampang di sana lalu dibaca oleh banyak orang.
Mimpi tersebut selalu menuntut untuk diwujudkan. Namun, rasa takut kalau-kalau artikel saya akan ditolak oleh redaksi merupakan problem terbesar yang menghalangi saya untuk menulis.
Sampai suatu hari, tepatnya ketika saya menginjak semester 6, saya merasa tertantang untuk mewujudkan mimpi saya tersebut. Tantangan tersebut datang dari dosen kami, Romo Prof. Dr. Armada Riyanto, yang waktu itu mengampu mata kuliah Filsafat Etika.
Kepada para mahasiswa, beliau menawarkan dua opsi untuk bisa mendapatkan nilai: bisa membuat karya tulis atau bisa juga menulis sebuah artikel opini. Untuk opsi kedua, mahasiswa secara otomatis akan mendapatkan nilai A apabila artikelnya dimuat di sebuah surat kabar.
Mendengar hal tersebut, waktu itu saya pun memutuskan dalam hati untuk memilih opsi kedua. Rasa takut kalau artikel saya akan ditolak masih menghantui diri saya. Tapi entah kenapa pada waktu itu saya merasa sangat yakin bisa melakukannya.
Setelah memutuskan untuk menulis artikel opini, saya mulai membaca dan mengamati peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di tengah masyarakat. Begitu juga artikel-artikel opini di surat kabar regional dan nasional saya lahap sambil mempelajari bagaimana menulis sebuah opini yang baik dan menarik.
Setelah melalui pertimbangan yang cukup panjang tentang topik apa yang akan saya tulis, akhirnya saya memutuskan untuk mengangkat sebuah topik yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia, yakni perdamaian. Karena itu, judul artikel opini saya waktu itu ialah: MENGHIDUPKAN BUDAYA DAMAI.
Setelah artikel selesai ditulis, dan dirasa sudah matang, saya pun memutuskan untuk mengirimnya ke Malang Post. Saya tidak berharap banyak kalau artikel saya akan dimuat. Apalagi saya menyadari kalau ini merupakan pengalaman pertama saya. Namun, setidaknya saya bisa merasa lega karena mimpi untuk mengirimkan artikel ke sebuah surat kabar sudah tercapai.
Menunggu itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Begitu ungkapan yang sering kita dengar. Namun kali ini saya tidak menunggu dalam kebosanan, tapi dalam kecemasan. Namun beberapa hari kemudian, kecemasan saya berubah menjadi suka cita yang luar biasa karena saya melihat artikel opini saya dimuat oleh Malang Post.
Saya tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan pemuatan artikel opini saya oleh Malang Post. Namun, transkrip nilai berikut bisa menjadi buktinya.