Memoria passionis memang bukan topik yang nyaman untuk dibicarakan. Bagi mereka yang sanak keluarganya menjadi korban, mengingat atau mengenang penderitaan hanya akan membangkitkan rasa perih yang kadang tak tertahankan. Sementara bagi mereka yang berada pada posisi berkuasa mengendalikan sejarah, memoria passionis dapat merongrong status quo mereka.
Bagaimana pun menyakitkan, kisah-kisah penderitaan harus selalu diingat dan dikisahkan agar di masa-masa yang akan datang peristiwa serupa tidak lagi terulang.
Lantas, di mana letak kaitan antara Hari Raya Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih dengan memoria massionis? Pada poin mana kedua hari raya ini dapat menyebabkan manusia lupa akan penderitaan sesamanya oleh karena terlalu memberi penekanan yang berlebihan terhadap masa depan?
Hari Raya Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih selain sama-sama dimaknai sebagai sebuah perayaan kemenangan, juga menjanjikan masa depan yang sama kepada umat yang merayakannya, yakni masuk surga.
Idul Fitri itu bermakna kembali ke fitrah. Orang kembali fitrah karena segala dosa diampuni setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Dan, orang-orang yang kembali fitrah, suci, bersih, diyakini masuk atau naik ke surga.
Kenaikan Yesus ke surga juga mengandung pesan di dalamnya bahwa umat beriman kelak juga akan berada bersama dengan Dia dan memandang wajah-Nya dalam keabadian.
Dalam suatu kesempatan bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus mengatakan: "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yoh. 14:1-3)
Lantas, apa yang keliru dengan masa depan (surga) yang dijanjikan dalam kedua perayaan tersebut? Bukankah sebagai orang beriman sudah selayaknya kita mengimpikan masuk surga setelah peziarahan kita di dunia ini berakhir?
Metz memandang tidak ada yang keliru dengan itu semua. Dia hanya ingin mengingatkan bahwa penekanan yang berlebihan terhadap kemajuan/masa depan (kehidupan abadi di surga) dapat menyebabkan terabaikannya penderitaan masa lalu.
Pengabaian  tersebut, menurut Metz, menemukan cikal bakalnya pada masa peradaban modern. Sebuah peradaban yang ingin menempatkan manusia sebagai subjek sejarah. Dengan ini modernisme ingin menentang paham tentang sejarah sebagaimana dikenal dalam tradisi kekristenan yang mengajarkan bahwa Allah adalah subjek universal sejarah.
Karena manusia yang menjadi subjek sejarah, modernisme memproklamasikan sebuah idealisme tentang otonomi manusia: bahwa manusia harus menolak eksistensi Allah, bila ia ingin menjadi dirinya sendiri dan bebas.