Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena "Palit" dan "Kempunan" dalam Suku Dayak Desa

8 Oktober 2020   16:18 Diperbarui: 25 Agustus 2021   15:54 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah cukup lama vakum, artikel tentang adat-istiadat dan kepercayaan suku Dayak Desa kembali hadir menyapa pembaca guna menambah wawasan kebudayaan kita.

Saya sudah pernah menulis tentang penggantian nama anak dan pengangkatan anak, yang dalam suku Dayak Desa diyakini sebagai cara untuk menyembuhkan seorang anak dari penyakit yang sedang diderita atau dari marabahaya yang mengancam keselamatan nyawanya. Mengenai topik tersebut silakan klik di sini.

Masyarakat suku Dayak Desa memang mempunyai beragam cara, yang tentu saja bersumber dari kepercayaan tradisional, dalam menghindarkan atau meluputkan diri sendiri dan sesama dari segala malapetaka.

Artikel berikut ini juga masih berkisar pada upaya masyarakat agar terhindar dari malapetaka atau kemalangan. Adalah palit yang oleh masyarakat Dayak Desa dipercaya dapat meluputkan seseorang dari mara bahaya. 

Seperti apa fenomena palit ini? Adakah pesan di balik kehadiran fenomena yang sampai hari ini masih menghiasi keseharian hidup masyarakat Dayak Desa?

***

Palit dapat diartikan sebagai tindakan mencicipi atau hanya sekadar menyentuh makanan atau minuman yang ditawarkan oleh orang lain kepada kita.

Makanan atau minuman apa saja yang wajib disentuh atau dicicipi? Dalam kepercayaan suku Dayak Desa ada empat jenis makanan atau minuman yang harus dicicipi atau hanya sekadar disentuh ketika ada orang menawarkannya kepada kita: nasi putih, nasi pulut (ketan), kopi, dan tuak. 

Jenis-jenis makanan ini, dalam suku Dayak Desa, termasuk jenis makanan yang "disakralkan".

Apakah ada akibat buruk yang bisa terjadi jika orang tidak mencicipi atau menyentuh makanan atau minuman tersebut? 

Dalam suku Dayak Desa ada kepercayaan bahwa seseorang bisa mengalami nasib sial, kemalangan kalau sampai tidak mencicipi atau menyentuh makanan dan minuman yang ditawarkan orang lain kepadanya. Nasib sial itu bisa dalam bentuk kecelakaan di jalan raya, terluka saat bekerja, dipagut ular, dan sebagainya.

Kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial tersebut oleh orang Dayak Desa dinamakan dengan kempunan. Kempunan memang bisa terjadi. Tapi menurut kepercayaan suku Dayak Desa, ia juga bisa ditangkal. 

Cara menangkalnya ialah dengan palit. Jika seseorang sudah melakukan palit, maka diyakini dia akan terhindar dari celaka atau kemalangan.

Begitu berbahayanya kempunan, dalam sub suku Dayak lain bahkan sampai dibuat hukum Adat Kempunan. Informasi ini saya peroleh dari seorang teman yang berasal dari suku Dayak Seberuang. 

Dia mengatakan kalau di dalam suku mereka, hukum Adat Kempunan dikenakan kepada mereka yang melanggar janji yang telah dibuat terhadap orang lain. 

Dia mengambil contoh seseorang yang telah berjanji ingin memotong babi, lalu ternyata batal. Padahal, ada beberapa orang yang sudah berencana ingin membeli daging babi tersebut. Dalam kasus ini, orang tersebut akan terkena hukum Adat Kempunan.

Karena itu, agar terhindar dari hukum adat, orang di kampung mereka tidak akan mengabarkan kepada orang lain terlebih dahulu kalau mereka ingin memotong babi. Mereka baru memberitahu orang lain jika babi tersebut benar-benar telah dipotong.

***

Fenomena palit dan kempunan tidak hanya dijumpai dalam suku Dayak Desa. Hampir semua sub suku Dayak yang ada di Kalimantan mengenal kedua fenomena ini. Di beberapa suku lain, palit bisa juga disebut ngomomalek, pelopas, posek, pusam.

Palit dan kempunan sesungguhnya bukan hanya sebuah fenomena biasa yang tanpa makna. Dalam hemat saya, ada beberapa pesan moral dan religius yang sangat penting di balik kehadiran kedua fenomena ini.

Pertama-tama, berkaitan dengan religiusitas suku Dayak Desa yang kebanyakan hidup sebagai peladang. Apa kaitan bahan-bahan makanan tersebut dengan religiositas suku Dayak Desa? 

Religiusitas, menurut Tom Jacobs dalam bukunya Paham Allah dalam Filsafat Agama-Agama dan Teologi, itu mencakup keseluruhan pribadi manusia. Ia lebih melihat aspek di dalam lubuk hati manusia.

Religiusitas manusia nampak dalam penghayatan hidup sehari-hari dalam mereka mengalami dan menghayati kehadiran Yang Mahatinggi. Beragam ritual dan upacara adat yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengalami Yang Ilahi dalam hidup sehari-hari.

Bagaimana cara mengalami dan menghayati kehadiran Yang Ilahi tersebut? Melalui simbol-simbol. Manusia itu adalah makhluk simbolis (homo symbolicus). 

Sebagai homo symbolicus, manusia mengekspresikan dirinya dalam tindakan-tindakan simbolis. Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden. 

Simbol memiliki salah satu karakteristik, yakni membuka tataran realitas yang tertutup bagi manusia (Paul Tilich, Dynamics of Faith).

Nasi putih, pulut, kopi, dan tuak, bagi orang Dayak Desa, merupakan medium untuk mengalami Yang Transenden tersebut. Tidak heran kemudian keempat bahan makanan ini selalu dijadikan sebagai bahan sesajen (pegelak) dalam beberapa ritual dan upacara adat.

Penggunaan bahan-bahan tersebut sebagai pegelak menjadi simbol keterbukaan dan keterarahan mereka pada Yang Ilahi (Petara Yang Agung). Sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang. 

Dan di saat yang sama sebagai bentuk permohonan agar Petara senantiasa memberkati dan melindungi usaha dan pekerjaan mereka, terutama dalam berladang, supaya selalu menghasilkan hasil panen yang baik dan berlimpah.

Kedua, berkaitan dengan hospitalitas. Ketika ada orang menyuruh kita palit sejatinya itu adalah ungkapan atau bentuk penghormatan, kemurahan hati dari seseorang atau tuan rumah kepada kita. Juga sebagai bentuk undangan untuk turut mensyukuri rezeki yang sudah diterima lewat makan atau minum bersama.

Tuak misalnya. Minuman tradisional ini hampir selalu di jumpai dalam suku-suku Dayak yang hidup di tanah Kalimantan. Selain digunakan dalam beberapa pesta adat, tuak selalu disajikan ketika ada tamu-tamu kehormatan datang berkunjung.

Suka atau tidak, para tamu yang datang harus meminumnya biarpun hanya sedikit. Karena itu adalah bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap tamu yang sudah bersedia mengunjungi mereka.

Bahwa palit sebagai undangan untuk turut serta dalam rasa syukur sangat jelas ketika musim Gawai (pesta syukur atas hasil panen) tiba. Bagi peladang, pesta syukur ini adalah puncak dari seluruh proses perladangan. 

Karena itu, pesta syukur ini akan mereka rayakan semeriah mungkin. Sanak keluarga yang berada di kampung lain diberitahu jauh-jauh hari agar bisa turut serta dalam rasa syukur tersebut.

Ketika hari H tiba, siapa pun tamu yang masuk ke dalam rumah akan dipersilakan oleh tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Kemurahan hati tuan rumah ini tidak boleh ditolak oleh para tamu. 

Harap diingat, nasi merupakan berkat dari Sang Pemberi Kehidupan dan sumber kehidupan bagi manusia sendiri. Diperlukan kerja keras untuk mendapatkannya. Jika berkat dan sumber kehidupan tersebut ditolak, secara tidak langsung, merupakan penyangkalan terhadap kehidupan itu sendiri.

Ketiga, mengingatkan manusia untuk selalu waspada. Masih adanya kepercayaan bahwa musibah atau kemalangan terjadi karena diakibatkan oleh kempunan, sejatinya ingin mengingatkan warga supaya selalu waspada. 

Apalagi kempunan, dalam kepercayaan tradisional Dayak Desa, tidak hanya bisa terjadi ketika kita tidak atau menolak mencicipi makanan, minuman yang orang lain tawarkan, namun juga saat di rumah kita sendiri, kita lupa menyantap makanan atau minuman yang sudah kita buat.

Sebagai contoh, dan kadang juga terjadi, orang sudah membuat kopi, lalu karena ada satu dan lain hal tiba-tiba dia pergi meninggalkan rumah. Dalam alam kepercayaan tradisional suku Dayak Desa, hal ini bisa berakibat sangat fatal. 

Karena logikanya, dengan tidak palit makanan atau minuman yang ditawarkan orang lain saja orang bisa celaka, apalagi sampai lupa menyantap makanan dan minuman yang ada di rumahnya sendiri.

***

Fenomena palit dan kempunan memang tetap menyisakan persoalan, terutama dari sudut pandang mereka yang sudah beragama. Belum lagi bila melihat fakta bahwa masyarakat Dayak Desa di kampung saya semuanya sudah memeluk agama Katolik.

Kenyataan di atas bisa menimbulkan pertanyaan, mengapa masih harus ada rasa takut mengalami malapetaka ketika tidak mencicipi atau menyentuh makanan dan minuman yang ditawarkan orang lain? Atau ketika lupa menyantap makanan dan minuman di rumah sendiri yang sudah siap disantap? 

Tidakkah dalam iman Kristiani diajarkan bahwa Tuhan itu Mahakasih, Dia akan senantiasa menjaga dan melindungi umat-Nya? Belum cukupkah iman ini menjadi sumber kekuatan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa menimbulkan diskusi yang panjang. Saya hanya mau menjawab bahwa kedua fenomena ini baiknya selalu dilihat dalam konteks religiusitas suku Dayak Desa seperti yang sudah dipaparkan di atas. 

Kepercayaan-kepercayaan tradisional sudah mereka yakini jauh sebelum agama Kristiani masuk. Ketimbang mengutuk kepercayaan yang mereka anut, akan lebih baik bila kita berusaha mempelajari dan menyelami apa pesan dan makna di balik kepercayaan tersebut.

Para misionaris dari Eropa yang pernah bertugas melayani di tanah Kalimantan kiranya menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Mereka begitu menghargai adat-istiadat dan budaya masyarakat lokal. 

Demikian juga dengan kepercayaan tradisional masyarakat setempat mereka hormati dan junjung tinggi. Hal inilah yang menyebabkan karya pelayanan mereka menghasilkan buah berlimpah, dan kehadiran mereka selalu dinanti-nantikan oleh umat.

Mungkin juga ada dari antara kita yang tidak meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara palit dan kempunan. 

Dengan kata lain, musibah atau kemalangan yang menimpa seseorang terjadi karena ada faktor lain yang menyebabkannya, misalnya karena kelalaian orang tersebut. Atau berpandangan bahwa tindakan palit hanyalah sebatas untuk menghormati orang yang telah menawarkan kita makanan/minuman.

Dari pengalaman saya sebagai putra asli suku Dayak Desa dan juga pengalaman hidup di tengah-tengah suku Dayak lainnya, palit rasanya lebih dari hanya sekadar menjaga perasaan orang yang menawarkan makanan/minuman kepada kita.

Saya pribadi selalu melihatnya dari sudut pandang mereka yang menawarkan makanan/minuman. Bagi saya, tindakan yang mereka lakukan bukan hanya sekadar untuk basa-basi. Apa yang mereka lakukan adalah ungkapan cinta sekaligus ungkapan doa yang tulus. 

Dengan meminta saya untuk turut menikmati hasil jerih payah mereka, sesungguhnya mereka juga ingin mendoakan agar perjalanan hidup saya senantiasa lancar. Dijauhkan dari segala mara bahaya.

***

Sebagai penutup, saya hanya berpesan barangkali suatu saat ada dari antara pembaca, yang berasal dari luar pulau Kalimantan khususnya, berkesempatan mengunjungi perkampungan suku Dayak. Makan dan minumlah, biarpun hanya mencicipi, apa yang mereka tawarkan kepada Anda. 

Terlebih lagi bila yang ditawarkan itu keempat jenis makanan di atas. Atau juga jenis makanan/minuman lain yang menurut kepercayaan masyarakat setempat tidak boleh ditolak. 

Percayalah! Makanan/minuman yang mereka tawarkan bukan untuk menyakiti Anda. Itu adalah bentuk penghormatan, ungkapan cinta yang tulus murni kepada Anda. Juga sebagai ungkapan doa demi kebaikan dan keselamatan hidup Anda.

Salam Budaya. Salam Lestari.

GN, Polandia, 8 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun