Mendengar kata Manggarai, saya cukup yakin kalau kita sudah bisa menebak siapa sobat Kompasianer yang akan saya rujuk. Ya. Reba Lomeh, dialah orangnya. Seorang pengagum berat filsuf Leibniz.
Tulisan-tulisannya tentang kearifan lokal di Manggarai, tepatnya di Manggarai Barat, selalu menarik untuk dinikmati. Setelah saya amat-amati, rupanya terdapat kesamaan pandangan dan sikap antara masyarakat Dayak dan masyarakat Manggarai terhadap Yang Mahatinggi, sesama, alam dan leluhur dalam mengolah lahan pertanian/perkebunan.
Berangkat dari artikel-artikelnya yang mengangkat kehidupan agraris masyarakat Manggarai, dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba mengelaborasi beberapa kesamaan  kulturalitas-religiositas antara suku Dayak dan Manggarai.
Adapun konteks kulturalitas-religiositas yang hendak saya gagas dalam tulisan ini secara khusus berpusat pada dunia pertanian dan perkebunan. Dunia yang hampir setiap hari digeluti oleh masyarakat Dayak dan Manggarai.
Dan sebagai catatan, karena ada ratusan sub suku Dayak yang hidup di tanah Kalimantan, maka suku Dayak yang saya maksudkan di sini ialah sub suku Dayak Desa, suku asli saya sendiri.
***
Alam, baik bagi masyarakat Dayak maupun masyarakat Manggarai, merupakan bagian dari seluruh kehidupan mereka.Â
Untuk itu, harus diperlakukan dengan hormat dan beradat. Perlakuan dan pemanfaatan yang bijaksana, hormat dan beradat terhadap alam tidak ada tujuan lain selain terbangun dan terpeliharanya relasi yang harmonis dengan alam itu sendiri.
Perlakuan dan pemanfaatan alam secara hormat dan beradat didasarkan pada keyakinan kalau Yang Ilahi itu hadir dalam dan melalui alam. Juga, didasarkan pada keyakinan bahwa alam itu memiliki kekuatan magis. Kekuatan magis ini tidak hanya menimbulkan rasa hormat dalam diri manusia, tapi juga ketakutan.
Alam tidak hanya bisa mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, tapi juga bisa mendatangkan celaka dan bencana bagi manusia bila tidak diolah dengan bijaksana.Â
Rasa hormat yang tinggi kepada kekuatan-kekuatan gaib dan roh leluhur, dengan demikian, harus selalu ditunjukkan dalam seluruh laku hidup masyarakat.
Bertolak dari pemahaman di atas, saya menemukan ada dua upacara adat dalam masyarakat Dayak dan Manggarai yang memiliki kesamaan makna dan tujuan.
Upacara Adat Sebelum Mulai Menanam
Saudara Reba Lomeh pernah menulis tentang upcara adat di daerah mereka sebelum petani mulai bercocok tanam. Benso Rasi, begitulah nama upacara adat terebut.
Upacara adat ini dilangsungkan di Uma (lahan perkebunan) dan di dalam Sekong (pondok kebun). Dalam upacara ini disiapkan hewan kurban seperti kambing (Mbe) dan ayam jantan hitam dan putih (Lalong Miteng agu Bakok). Namun, yang sering dipakai ialah ayam jantan putih. Ayam putih melambangkan keputihan hati, bersih dan suci.
Karena upacara adat ini berhubungan langsung dengan baik buruknya hasil perkebunan, maka dari itu tidak boleh dipimpin oleh sembarang orang. Tua Teno (orang yang dituakan dalam satu kampung) dialah orang yang harus memimpin upacara adat ini.
 Si Tua Teno ini akan tampil sebagai Torok (penutur) sembari memegang ayam jantan putih. Setiap satu bait torok selesai, ia mencabut bulu ayam sehingga ayam itu mengeluarkan suara.
Sementara  upacara berlangsung sang pemilik kebun beserta keluarga yang lain duduk bersila disekitar Tua Teno. Dia akan melafalkan mantra seperti berikut:
"Yo Mori, agu ised pa'ang bele. Ami kudu tegi berkak dite, porong apa sot weri danak'm wua dia't cepisa agu jaga koes lite (Ya Tuhan, juga untuk para leluhur, kami anak Mu meminta berkat dan perlindungan. Kiranya apa yang kami tanami kelak tumbuh dan berbuah hingga dijaga agar tidak diserang hama wereng dan binatang)
Upacara Benso Rasi bertujuan meminta berkat dan perlindungan kepada Mori Kraeng (Tuhan sang pencipta), arwah leluhur dan juga alam.
Dalam acara Benso Rasi selain meminta berkat kepada Tuhan, arwah leluhur juga dimintai bantuan untuk menjadi penyambung lidah dari doa anak-anaknya.
Ada kepercayaan bila tanaman kita mati, mandul dan tidak berbuah sama sekali tentu juga disebabkan oleh arwah leluhur tidak diindahkan, dilupakan atau tidak dihiraukan. Karena itu mereka tersinggung, marah dan memberikan malapetaka atau ikut serta dalam kemarahan alam.
Sedangkan dalam suku Dayak Desa, proses menanam dinamakan dengan Nugal. Sebelum mulai menanam (Nugal) warga akan berkumpul di suatu tempat. Ritual dipimpin oleh kepala keluarga yang empunya ladang atau yang mewakili. Pemimpin ritual pertama-tama memukulkan bambu ke tanah sebagai tanda memanggil Puyang Gana sambil mengucapkan kata-kata berikut:
O Puyang Gana (O Puyang Gana)
Tuk kami kak nugal (Lihatlah kami mau nanam)
Kami minta padi kami baiek (Kami mohon padi kami bagus)
Emansang  kami senang (masa depan kami cerah)
Pengidup kami nyamai (hidup kami enak)
Benih-benih yang akan ditanam lalu diperciki dengan darah ayam. Pemercikan dengan darah adalah tanda bahwa benih-benih itu sudah diberkati dan siap untuk ditabur.
Ritual kemudian dilanjutkan dengan membuat pegelak (sesajen). Pembuatan sesajen ini merupakan salah satu syarat yang tak boleh diabaikan. Lewat sesajen, warga menghaturkan persembahan kepada Sang Petara sekaligus juga memohonkan berkat atas ladang yang sebentar lagi akan ditanami.
Kalau dalam masyarakat Manggarai, proses menanam dilakukan sehari atau dua hari setelah pelaksanaan upacara, dalam suku Dayak Desa proses menanam akan segera dilangsungkan pada hari itu juga.
Pesta Syukuran atas Hasil PanenÂ
Penti, itulah nama pesta syukur setelah selesai panen dalam masyarakat Manggarai. Pesta adat ini merupakan puncak dari segala segala ritual adat dalam tataran kehidupan agraris orang Manggarai.
Terdapat 3 (tiga) jenis ritual adat yang sifatnya berkesinambungan dan waktu pelaksanaannya berbeda-beda.
- Benso Rasi, ritual yang berkaitan dengan masa awal bercocok tanam
- Randang, ritual yang berkaitan dengan masa panen; dan
- Penti, upacara syukuran panen.
Bagaimana pesta adat Penti dilangsungkan? Pesta ini akan dilangsungkan bila masa panen sudah selesai dilakukan. Jauh hari sebelum upacara Penti dilakukan, warga sekampung menyiapkan segala sesuatu untuk menyokong keberlangsungan acara, hingga mengundang keluarga yang berada di kampung lain untuk hadir.
Upacara Penti dilakukan pada sore hari atau menjelang malam hari. Ditandai dengan adanya nempung dan neki weki (berkumpul bersama).
Sementara pagi keesokannya, dilanjutkan dengan acara podo tenggeng. Yakni dengan maksud supaya bencana kelaparan tidak menghantui dan dijauhkan (tolak bala).
Hewan persembahan yang diikutsertakan berupa ela (babi) dan manuk miteng (ayam berbulu hitam). Babi dan ayam yang berbulu hitam bermakna menolak kesuraman, sial dan bahaya kelaparan.
Adapun tudak (kalimat doa) yang dirapalkan oleh Tua Golo (penutur) berbunyi;
"Kudut wurs cangged rucuk ringgang landing toe ita hang ciwal, toe hang mane. Porong one leso salet, one waes laut (Biarlah semua bencana kelaparan/ busung lapar hanyut bersama darah babi dan ayam)".
Kemudian ayam dan babi di sembelih, dan jasadnya digantung pada kayu yang sengaja ditancapkan di tempat acara itu.
Setelah itu, sebelum meninggalkan tempat acara para tetua adat akan membersihkan parang dan pisau yang dipergunakan untuk menyembelih hewan kurban tadi di sungai.
Pada saat dijalan pulang, menoleh ke belakang adalah hal yang tidak diperkenankan, dan dipandang tabu. Hal tersebut dilakukan agar segala wujud kesialan tidak membututi dari belakang.
Dalam upacara Penti di kenal beberapa tahapan-tahapan sebagai berikut;
- Barong wae teku, upacara langsung di mata air yang dipakai sebagai air minum oleh warga kampung
- Barong compang, upacara di atas batu (tempat persembahan) yang ada di tengah-tengah kampung
- Libur kilo, upacara persembahan umum dalam gendang (rumah adat Mangggarai) lantaran arwah nenek moyang sudah diundang masuk kedalam rumah
- Wae owak, upacara persembahan dari masing-masing keluarga
- Tudak penti, upacara puncak syukur
Dalam kepercayaan masyarakat Manggarai, upacara Penti sedapat mungkin harus dilakukan. Ada kecenderungan bila upacara ini tidak dilakukan, maka kelak mendapat murka dari Tuhan, arwah nenek moyang dan alam. Hal ini ditandai dengan adanya gagal panen, hama wereng, bencana alam dan sebagainya.
Diadakannya upacara Penti tujaunnnya ialah mengucap syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta), arwah nenek moyang dan alam, atas jeri payah yang telah diberikan dan diperoleh selama kurun waktu beberapa tahun.
Bagaimana dengan masyarakat Dayak Desa? Dalam suku Dayak Desa, kami menyebut pesta syukur atas hasil panen ini dengan Gawai/Keramai. Pelaksanaan Gawai biasanya berkisar pada bulan Juni-Juli. Dilaksanakan pada bulan-bulan ini karena bertepatan dengan masa liburan anak-anak sekolah.Â
Hal ini dijadikan pertimbangan karena upacara Gawai, selain pesta sebuah kampung, juga merupakan merupakan pesta keluarga. Untuk itu, setiap anggota keluarga sedapat mungkin harus hadir.
Pesta syukur ini merupakan pesta besar dan penting dalam masyarakat Dayak. Sedapat mungkin dirayakan secara meriah dan dinikmati banyak orang. Karena itu, sebuah kampung yang akan mengadakan Gawai akan mengabari sanak keluarga dan kerabat di mana pun berada untuk turut bergembira bersama.
Berkaitan dengan hari pelaksanaan, dari pengalaman-pengalaman yang sudah ada, Gawai umumnya dilaksanakan pada hari Sabtu-Minggu. Dimulai serempak pada Sabtu sore dan berakhir pada Minggu sore. Sebagai manusia yang tidak hanya beradat, tapi juga beragama, maka hari Minggu pagi akan selalu diadakan Misa/Ibadat Syukur Gawai.
Sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh, masing-masing keluarga akan menyiapkan dua piring pegelak. Keduanya akan ditaruh di dalam lumbung padi. Â Setelah sampai pada waktunya, yang satu akan diambil untuk disantap bersama oleh seluruh anggota keluarga, sementara yang satunya lagi tetap disimpan di dalam lumbung.
Pegelak tersebut merupakan bentuk persembahan syukur kepada Sang Petara, Pencipta semesta alam dan juga kepada Puyang Gana, Sang Penguasa tanah.
Gawai, bagi masyarakat Dayak, tidak hanya menandai suatu kejadian penting dalam kehidupan mereka, tetapi juga berhubungan dengan pengalaman supernatural warga masyarakat, di samping juga menampilkan teguhnya ikatan komunitas dalam masyarakat.
***
Begitulah kira-kira kesamaan kulturalitas-religiositas dalam tataran kehidupan agraris masyarakat Dayak dan Manggarai. Bila melihat artikel-artikel yang sudah pernah ditulis oleh saudara Reba Lomeh, nampaknya masih ada kearifan lokal di antara kedua suku ini yang menarik untuk dielaborasi.
Salam Budaya
GN, Polandia, 12 September 2020
Artikel terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H