Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Tentang Hidup dan Makan: Sebuah Perspektif Eksistensialisme dan Fenomenologi

23 Juli 2020   18:09 Diperbarui: 24 Juli 2020   12:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan sehat (Sumber: shironosov via lifestyle.kompas.com)

Hidup dan makan itu ibarat dua sisi mata uang yang tak akan bisa dipisahkan. Di mana ada kehidupan pastilah di sana ada kebutuhan untuk makan. Dan, di mana ada makanan pastilah di sana ada kehidupan.

Seorang rekan pernah bertanya kepada saya, "Hidup itu untuk makan atau makan untuk hidup?" Saat itu saya memilih kalau makan itu untuk hidup. 

Makan, pertama-tama, memang untuk hidup. Dengan makan saya akan memperoleh energi untuk melakukan segala aktivitas serta tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada saya.

Mengapa saya tidak memilih yang pertama? Apa yang salah kalau memang hidup itu untuk makan? Saya tidak memilihnya, karena dalam hemat saya hidup ini terkesan sangat dangkal kalau hanya untuk makan saja. Bisa-bisa saya akan dicap sebagai orang yang rakus kalau dalam benak saya yang ada hanya soal makan dan makan terus.

Benarkah demikian adanya? Sungguhkah mereka yang menjalani kehidupannya dengan menempatkan perkara makan di atas segalanya, akan dicap sebagai orang yang rendah kualitas hidupnya? Sebagai orang yang hanya memikirkan perkara duniawi? Ada baiknya kita tidak terlalu cepat memberi penilaian yang buruk tanpa memperhatikan terlebih dahulu konteks kehidupan yang sedang mereka jalani.

Seorang warga unggahannya menjadi viral di Facebook setelah mengeluh mendapatkan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) hanya Rp. 215 ribu. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah mereka seharusnya mendapatkan Rp. 600 ribu (sumber).

Bagamaimana penilaian kita terhadap aparat yang masih saja tega mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari penderitaan sesamanya? Orang-orang ini layak kita sebut sebagai orang yang rakus, rendah kualitas hidupnya, dan sebagainya. Mereka dan para koruptor adalah contoh orang yang hidup hanya untuk makan. Makan duit rakyat.

Sekarang persoalannya bagaimana kalau hal tersebut terjadi dengan mereka yang hidup serba berkekurangan? Saudara-saudari kita yang dari hari ke hari berkeringat dan berdarah-darah mencari sesuap nasi? Terhadap mereka ini, saya pribadi tidak akan berani menilai bahwa kualitas hidup mereka sangatlah dangkal karena hanya memikirkan urusan perut.

Mungkin ada dari antara kita yang sudah pernah menonton film The Pianist. Sebuah karya dari seorang sutradara dan aktor terkenal asal Polandia, Roman Polanski. 

Film ini berangkat dari kisah nyata dari kehidupan seorang pianis asal Polandia yang masih keturunan Yahudi, Wadysaw Szpilman.

Degan latar belakang pendudukan Jerman atas Warsawa, film ini mengisahkan perjuangan seorang insan untuk bertahan hidup. Sebagai seorang pianis, Szpilman tentulah dikenal banyak orang. Dia juga memiliki beberapa teman orang Polandia yang sangat baik kepadanya. 

Merekalah yang banyak membantunya dalam mencarikan tempat persembunyian dan mengantarkan makanan. Tindakan mereka tersebut adalah nyawa taruhannya. Sebab, siapa pun yang berusaha melindungi atau menyembunyikan orang-orang Yahudi akan turut dibantai oleh tentara Jerman.

Szpilman selalu lolos dari kejaran tentara Jerman. Namun, ketika situasi sudah semakin genting, teman-temannya tidak bisa lagi mengantar makanan untuknya seperti sediakala. Peluang untuk bertahan hidup semakin menipis. 

Dalam situasi genting seperti itu, kepada seorang teman Polandia yang menemuinya di tempat persembunyiannya, dan menyampaikan bahwa mereka kesulitan mencari makanan untuknya, sambil melepas jam tangannya lalu menyerakannya kepada temannya itu, ia berkata, "Ini. Jual ini. Makanan lebih penting daripada waktu".

Kisah hidup Szpilman bersama dengan orang-orang Yahudi lainnya, pada titik tertentu, seakan menampilkan kalau hidup itu seolah menjadi medan perjuangan dalam mencari makanan. Apakah hidup itu untuk makan atau makan itu untuk hidup, bagi Szpilman, bukan saat yang tepat untuk memilih prinsip mana yang lebih bagus dan penting. Yang terpenting baginya sekarang ialah ia bisa mendapatkan makanan dan bisa bertahan hidup.

Apakah bagi Szpilman waktu itu sungguh tidak penting? Baginya, waktu tentu sangat penting dan berharga. Dengan memiliki waktu (jam tangan), dia bisa merancang hidup dengan baik sekalipun berada dalam ketidakpastian akan keselamatan hidupnya sendiri. Namun, waktu itu harus ia korbankan karena ada sesuatu yang lebih penting untuk ia dapatkan supaya bisa bertahan hidup, yakni makanan.

Tidakkah kisah hidup Szpilman-Szpilman yang lain, yang akhir-akhir ini kita saksikan atau mungkin kita alami akibat pandemi Covid-19 ini? Pandemi ini tidak hanya telah merenggut nyawa jutaan penduduk dunia, tapi juga telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Kehilangan pekerjaan dengan sendirinya akan mengakibatkan orang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  

Kembali kepada pertanyaan di atas. Apakah hidup itu untuk makan? Atau makan untuk hidup? Sepertinya yang menjadi persoalan bukan perkara memilih prinsip mana yang lebih bagus. Pergulatan dan perjuangan anak manusia untuk bertahan hidup seakan mengingatkan kita kalau kedua prinsip itu seringkali saling tumpang tindih.

Barangkali dalam realitas yang sering tumpang tindih itu, filsafat eksistensialisme dan fenomenologi bisa membantu kita untuk memahami manusia beserta pergulatan hidupnya. Mereka yang menjadi pengikut kedua paham ini tidak akan tergesa-gesa memberi penilaian. 

Ketimbang memberi penilaian yang tanpa dasar, mereka akan dengan berani menceburkan diri dalam realitas kehidupan manusia yang seringkali berkeringat dan berdarah-darah dalam usaha untuk bertahan hidup.

Kedua paham ini berusaha memahami manusia dari fenomena atau realitas yang nampak di depan mata. Keduanya melakukan kontak langsung dengan realitas. Dogmatisme atau absolutisme, karena itu, akan ditolak karena dipandang menghalangi obyek kesadaran untuk menampakkan diri apa adanya.

Karena itu, seorang eksistensialis atau fenomenolog ketika berjumpa dengan Szpilman atau mereka yang siang malam tak kenal lelah mencari sesuap nasi, tidak akan berani berkata, "Saudaraku, cukuplah! Jangan diteruskan! Ingat, makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan". 

Di mata mereka, ungkapan semacam itu hanya sebuah retorika indah namun tanpa makna. Sebab, bagaimana mungkin berkata dengan begitu indah kepada mereka, sementara sebutir nasi pun tak ada di hadapan mereka?

Apakah kedua paham tersebut merupakan kritik terhadap kaum idealis? Boleh dikatakan iya. Kalau begitu, apa yang keliru dari paham idealisme dalam memaknai realitas? Kritik Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis asal Denmark, terhadap Hegel bisa menjadi contohnya.

Di mata Kierkegaard, filsafat Hegel yang hendak membangun sebuah sistem yang komprehensif, mampu memahami segala-galanya, merupakan sebuah proyek yang ambisius dan tak masuk akal. 

Menurut Kierkegaard, dengan pemikirannya itu, Hegel praktis menghilangkan daya sengat perasaan-perasaan eksistensial manusia, misalnya kecemasan, kemarahan, penderitaan dan keputusasaan.

Berfilsafat dengan cara Hegel, bagi Kierkegaard, bagaikan naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah. Dari puncak gunung orang dapat melihat tatanan atau sistem pengaturan wilayah tersebut. 

Semuanya kelihatan indah, rapi dan teratur. Yang tidak kelihatan ialah apa yang terjadi di bawah atap rumah dan apa yang bergolak dalam hati penghuni rumah itu: anak-anak yang mengalami kekerasan, suami-istri yang sedang bertengkar, mereka yang berjuang untuk sembuh dari penyakit, para karyawan yang kehilangan pekerjaan dan tidak tahu bagaimana harus menghidupi keluarganya, seorang pemuda/pemudi yang bersedih karena diputus oleh pacarnya, dan sebagainya.

Jadi, sekali lagi, apakah hidup untuk makan atau makan untuk hidup? Saya sendiri tidak akan memilih prinsip mana yang indah dan bagus untuk menjalani kehidupan. Saya lebih senang menempatkan keduanya tidak saling bertentangan, tapi berjalan beriringan. 

Jadi, bukan lagi apakah hidup itu untuk makan atau makan untuk hidup, melainkan hidup untuk makan dan makan untuk hidup. Untuk hendak mengatakan bahwa konteks anak manusia dalam bergelut dan berjuang untuk bertahan hidup menjadi penting dalam memahami realitas hidup sehari-hari.

Namun, terhadap mereka yang haus akan harta, mereka yang tega mengebiri bantuan untuk rakyat kecil, para koruptor, kita tidak perlu berdebat apakah kita seorang eksistensialis, fenomenolog atau kaum idealis. 

Saya rasa kita akan sepakat kalau mereka-mereka itu adalah orang yang hidupnya hanya memikirkan urusan perut sendiri. Orang-orang yang hidup hanya untuk memakan jatah milik orang lain.

Sumber:

Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun