Merekalah yang banyak membantunya dalam mencarikan tempat persembunyian dan mengantarkan makanan. Tindakan mereka tersebut adalah nyawa taruhannya. Sebab, siapa pun yang berusaha melindungi atau menyembunyikan orang-orang Yahudi akan turut dibantai oleh tentara Jerman.
Szpilman selalu lolos dari kejaran tentara Jerman. Namun, ketika situasi sudah semakin genting, teman-temannya tidak bisa lagi mengantar makanan untuknya seperti sediakala. Peluang untuk bertahan hidup semakin menipis.Â
Dalam situasi genting seperti itu, kepada seorang teman Polandia yang menemuinya di tempat persembunyiannya, dan menyampaikan bahwa mereka kesulitan mencari makanan untuknya, sambil melepas jam tangannya lalu menyerakannya kepada temannya itu, ia berkata, "Ini. Jual ini. Makanan lebih penting daripada waktu".
Kisah hidup Szpilman bersama dengan orang-orang Yahudi lainnya, pada titik tertentu, seakan menampilkan kalau hidup itu seolah menjadi medan perjuangan dalam mencari makanan. Apakah hidup itu untuk makan atau makan itu untuk hidup, bagi Szpilman, bukan saat yang tepat untuk memilih prinsip mana yang lebih bagus dan penting. Yang terpenting baginya sekarang ialah ia bisa mendapatkan makanan dan bisa bertahan hidup.
Apakah bagi Szpilman waktu itu sungguh tidak penting? Baginya, waktu tentu sangat penting dan berharga. Dengan memiliki waktu (jam tangan), dia bisa merancang hidup dengan baik sekalipun berada dalam ketidakpastian akan keselamatan hidupnya sendiri. Namun, waktu itu harus ia korbankan karena ada sesuatu yang lebih penting untuk ia dapatkan supaya bisa bertahan hidup, yakni makanan.
Tidakkah kisah hidup Szpilman-Szpilman yang lain, yang akhir-akhir ini kita saksikan atau mungkin kita alami akibat pandemi Covid-19 ini? Pandemi ini tidak hanya telah merenggut nyawa jutaan penduduk dunia, tapi juga telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Kehilangan pekerjaan dengan sendirinya akan mengakibatkan orang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Â
Kembali kepada pertanyaan di atas. Apakah hidup itu untuk makan? Atau makan untuk hidup? Sepertinya yang menjadi persoalan bukan perkara memilih prinsip mana yang lebih bagus. Pergulatan dan perjuangan anak manusia untuk bertahan hidup seakan mengingatkan kita kalau kedua prinsip itu seringkali saling tumpang tindih.
Barangkali dalam realitas yang sering tumpang tindih itu, filsafat eksistensialisme dan fenomenologi bisa membantu kita untuk memahami manusia beserta pergulatan hidupnya. Mereka yang menjadi pengikut kedua paham ini tidak akan tergesa-gesa memberi penilaian.Â
Ketimbang memberi penilaian yang tanpa dasar, mereka akan dengan berani menceburkan diri dalam realitas kehidupan manusia yang seringkali berkeringat dan berdarah-darah dalam usaha untuk bertahan hidup.
Kedua paham ini berusaha memahami manusia dari fenomena atau realitas yang nampak di depan mata. Keduanya melakukan kontak langsung dengan realitas. Dogmatisme atau absolutisme, karena itu, akan ditolak karena dipandang menghalangi obyek kesadaran untuk menampakkan diri apa adanya.
Karena itu, seorang eksistensialis atau fenomenolog ketika berjumpa dengan Szpilman atau mereka yang siang malam tak kenal lelah mencari sesuap nasi, tidak akan berani berkata, "Saudaraku, cukuplah! Jangan diteruskan! Ingat, makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan".Â