Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia sebagai Homo Dolens

18 Juli 2020   04:19 Diperbarui: 18 Juli 2020   04:24 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: puspensos.kemsos.go.id

Dalam ritus sakramen pemberkatan perkawinan dalam Gereja Katolik, ketika sampai pada pengucapan janji oleh kedua mempElai, keduanya akan berjanji: "Di hadapan Tuhan... Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit..."

Dalam rumusan itu tertulis "dalam untung dan malang", "suka dan duka, "sehat dan sakit". Dari rumusan ini kedua mempelai hendak diingatkan bahwa hidup tidak hanya berisi untung, suka dan sehat saja, tapi juga ada malang, duka dan sakitnya juga.

Begitulah realitas kehidupan manusia. Bila mau jujur pastilah kebanyakan dari kita memilih untuk hidup sehat, selalu dalam keadaan untung atau dalam keadaan suka. Namun, kenyataan sering kali seperti yang tidak kita harapkan. Sakit, penderitaan yang mendengarnya saja kadang kita enggan, apalagi mengalaminya, seringkali juga datang menyapa.

Kenyataan bahwa sakit dan penderitaan selalu menjadi bagian dari hidup manusia, membuat manusia dikatakan sebagai homo dolens (makhluk yang menderita). Manusia menderita karena bencana alam, peperangan, kehilangan, mengalami ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, mengidap penyakit tertentu, dst.

Merebaknya wabah virus corona seakan semakin hendak menegaskan bahwa peziarahn hidup kita yang akan tak pernah lepas dari penderitaan. Jutaaan nyawa telah hilang akibat pandemi Covid-19 ini. Pun juga, banyak anak manusia menjadi putus asa dan patah semangat karena kehilangan orang-orang terkasih dan juga penghasilan.

Bila memang penderitaan itu tak terhindarkan, bagaimana kemudian kita harus menyikapinya? Apakah ada makna yang indah di balik penderitaan yang kita alami? Jika memang ada, beranikah kita menghadapinya dan menanggungnya dengan tabah?

Tak dapat dipungkiri memang, kalau penderitaan itu seringkali membuat orang jatuh dan tak mampu bangkit lagi. Bahkan, tak jarang ada banyak juga yang menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Penulis sendiri pernah mengalaminya. Namun, seiring berjalannya waktu, penulis menyadari bahwa Tuhan  punya rencana di balik segala pengalaman pahit tersebut.

Untuk bisa sampai pada kesadaran tersebut tentulah memerlukan proses yang panjang. Dan tentu saja menimba pelajaran dari orang lain yang juga mengalami penderitaan, kesusahan dalam hidup, namun tetap tegak berdiri dan dengan penuh senyum menghadapinya.

Penulis memiliki sebuah pengalaman menarik yang pernah penulis jumpai di sebuah tempat di mana penulis pernah berkarya. Pengalaman ini berkaitan dengan bagaimana suku tempat (suku Dayak Uud Danum) memaknai atau "merayakan" kematian. 

Ketika di beberapa tempat umumnya  peristiwa kematian diliputi suasana hening, haru dan penuh duka, tidak demikian dalam suku Uud Danum. Jenazah mereka yang telah meninggal harus disemayamkan selama tiga hari tiga malam di dalam rumah. Pada malam hari sambil menunggu jenazah dan menemani keluarga yang berduka akan diisi dengan permainan bola api.

Begitu juga saat tiba dari tempat pemakaman. Sambil menunggu keluarga yang berduka menyiapkan hidangan, beberapa warga akan menari-nari dengan penuh ceria. 

Selain untuk menghibur keluarga yang berduka, alasan lainnya ialah berlandaskan pada kepercayaan bahwa mereka yang telah meninggal akan memasuki kehidupan abadi di surga. 

Karena itu, kematian harus dirayakan bukan diratapi. Semua ini tentu tidak mampu membendung air mata yang jatuh karena kehilangan orang terkasih. Namun, begitulah suku Uud Danum memaknai pengalaman kehilangan.

Pandangan kita terhadap penderitaan pastilah berbeda. Pandangan itu bisa saja dipengaruhi oleh budaya atau ajaran agama atau keyakinan kita masing-masing. Pandangan yang kita anut tentu saja akan berpengaruh pada bagaimana kita memaknai dan menjalaninya.

Bahwa setiap orang dan setiap tempat memiliki sikap dan pandangan berbeda soal penderitaan itu adalah sebuah kekayaan. Namun perbedaan itu, tak jarang juga membuat hati sedih. Sedih, karena penderitaan sesama seringkali hanya dimanfaatkan demi mengejar kepentingan pribadi.

Belum lagi dengan kemajuan teknologi di mana penderitaan diri sendiri maupun sesama sering dilecehkan dengan menjadikannya obyek untuk ber-selfie atau ber-wefie ria. Peristiwa kematian pun kadang menjadi objek dari sikap narsis manusia. Alih-alih menunjukkan empati, orang justru menjadikan penderitaan dan kematian seolah tak lagi bernilai baik dan luhur dalam dirinya.

Penderitaan, apa pun bentuknya, memang mengundang orang untuk berempati dan solider. Namun, cara untuk membuat orang berempati dan solider, selayaknya dilakukan dengan santun dan manusiawi.

Kembali ke janji perkawinan yang diucapkan oleh kedua mempelai di atas. Dengan mengucapkan janji tersebut, mereka berdua berkomitmen untuk setia sehidup semati dalam keadaan baik maupun tidak baik. Komitmen atau janji harus dibuat karena mengingat hidup perkawinan, dan juga hidup pada umumnya, tidak akan selalu berjalan mulus. Untuk itu, diperlukan kesetiaan, saling percaya, saling menguatkan, saling memahami dan sebagainya.

Bila hendak dimaknai dalam konteks manusia sebagai homo dolens, kita dingatkan untuk berempati dan memiliki solidaritas terhadap penderitaan sesama. St. Paus Yohanes Paulus II dengan panjang lebar dan mendalam merefleksikan penderitaan manusia dalam Surat Apostoliknya Salvifici Doloris (Tentang Makna Penderitaan Manusia). 

Dengan menjadikan kisah seorang Samaria yang baik hati sebagai contoh dari sosok manusia yang tidak hidup bagi dirinya sendiri, St. Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa manusia tidak dapat menemukan dirinya secara utuh tanpa melalui pemberian diri yang tulus. Orang Samaria yang baik hati adalah pribadi yang mampu memberikan diri dengan setulus-tulusnya.

Bila kita mengatakan penderitaan itu memiliki makna, maka pada dasarnya penderitaan itu baik adanya. Karena baik adanya, sudah selayaknyalah kita belajar untuk menjalaninya dengan penuh ketabahan. 

Keseluruhan hidup kita merupakan sebuah kesaksian. Dan kesaksian yang lahir dari ketabahan menjalani penderitaan biasanya akan membawa harapan dan semangat baru bagi banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun