Mohon tunggu...
Francisca S
Francisca S Mohon Tunggu... Guru - Amicus Plato, sed magis amica veritas

Pengajar bahasa, Penulis novel: Bisikan Angin Kota Kecil (One Peach Media, 2021)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga di Tangan Mae

26 Agustus 2022   22:32 Diperbarui: 26 Agustus 2022   22:38 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com/Engin Akyurt

Aku melihatnya berjalan memasuki ruang kelas dengan langkah yang tergesa-gesa, raut wajahnya menyiratkan sedikit ketegangan. Ia berjalan dengan pandangan mata menatap lurus ke depan tanpa sama sekali mau menoleh ke arah teman-teman yang sedang dilewatinya. Sikap dan ekspresi wajahnya tidak seperti biasanya. Dan yang lebih menarik perhatianku, ada sebuah pot kecil berisi bunga hidup berwarna merah muda dalam genggaman tangannya. Untuk apa dia membawa tanaman hidup ke dalam aula ini?

Sudah hampir setahun aku mengenal Mae, teman kelasku di universitas ini, dan hampir setiap hari pula aku bertemu dengannya. Seperti hari ini, aku mempunyai jadwal kelas yang sama dengannya untuk mata kuliah Fonetik dan Fonologi selepas istirahat makan siang. Biasanya begitu muncul di pintu kelas, sapaan Mae langsung terdengar dibarengi dengan tarikan bibir yang membentuk sebuah senyuman lebar di wajahnya, dilanjutkan dengan  celotehannya yang ramai. Namun, itu semua tidak terlihat kali ini. Aku dapat menangkap dengan mudah perbedaan itu. Ada apa dengannya?

"Bunga untuk siapa itu, Mae?" kudengar suara Professoressa Ricci bertanya kepadanya dari arah mimbar pengajar di depan sana. Ibu dosen yang satu ini memang mempunyai pribadi yang ramah dan hangat. Dia kerap mengajak mahasiswa dan mahasiswinya mengobrol ringan sebelum kuliah mulai, dan mampu mengingat cukup banyak nama mereka. Rupanya bunga di tangan Mae itu juga menarik perhatiannya hingga dia sejenak berhenti merapikan materi ajarnya di atas meja.

"Saya membelinya untuk diri saya sendiri, untuk menghibur saya,"  jawab Mae sambil terus berjalan cepat melintasi aula yang luas ini, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Professoressa Ricci yang tengah melihat ke arahnya.

Aku dan Astrid, yang duduk berdekatan di deretan bangku terdepan saling berpandang-pandangan begitu mendengar jawaban dan cara menjawab Mae. Tumben dia menjawab seperti itu. Kami yang mengenalnya merasa heran karena biasanya dia selalu menanggapi pertanyaan dengan antusias, dari siapa pun pertanyaan itu datang, apalagi bila yang bertanya adalah seorang dosen, biasanya dia pasti akan menjawab dengan sopan dan berpanjang-panjang.

Professoressa Ricci hanya tersenyum kecil melihat reaksi Mae. Dia tidak bertanya lebih lanjut, dan kembali sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas yang akan dibagikannya pada kuliah siang ini.

Sementara Mae sudah duduk di bangku paling ujung di dekat jendela. Dia memilih area tempat duduk yang tidak terlalu diminati murid di kelas ini, tidak ada yang duduk di sebelah atau di belakangnya. Sepertinya dia ingin menyendiri. 

Dalam keseharian di kampus, Mae dikenal sebagai orang yang sangat rajin menyapa siapa saja, mulai dari teman-teman kelasnya hingga petugas kebersihan universitas, penjaga di area lobi, bahkan orang-orang yang tidak terlalu dikenalnya. Pada pagi hari suaranya sering terdengar di koridor, di anak tangga kampus, atau di dalam lift, menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. "Buongiornoooo.. " begitu yang selalu terdengar saat dia mengucapkan selamat pagi dengan suara yang keras dan bunyi huruf O yang panjang, jauh lebih panjang daripada bunyi yang diucapkan oleh orang lain pada umumnya, sambil sedikit membungkukkan badan, memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar. Berusaha menampilkan sikap sebagai seorang gadis yang ramah dan imut. Setelah itu dia akan mencoba membuka percakapan kecil.

Mae ingin menunjukkan keramahannya kepada semua orang yang dijumpainya, berharap orang-orang akan menyukai itu, dan membalasnya dengan hal yang sama. Namun, entah dia menyadarinya atau tidak, seringkali reaksi orang-orang itu tidak mencerminkan apa yang diharapkannya. Banyak orang yang malah tersenyum geli melihat gaya menyapanya yang tidak biasa itu, atau tidak merespons keramahannya dan segera berlalu dari hadapannya.   

Sementara banyak teman kelasnya yang menilai sikapnya itu terlalu berlebihan dan sedikit aneh. "Esagerata! Un pó strana!" komentar mereka terhadap gayanya yang kelewat ramah itu. Tidak terkecuali teman-teman yang berasal dari negara dan kultur yang sama dengannya. "Tidak perlu sampai seperti itu," kata mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun