Beriring dengan datangnya perayaan Imlek, parade Barongsai menjadi momen yang dinantikan. Gerakan lincah pemain dan iringan tambur mendatangkan hiburan bagi penontonnya. Ironis, dibalik itu fakta menunjukkan bahwa keseniannya sering di-asing-kan dari bagian kebudayaan Indonesia.
Barongsai merupakan kesenian Tionghoa yang sering ditampilkan pada perayaan Imlek. Sebuah kesenian yang identik dengan gerakan tari yang atraktif. Berbicara mengenai Tionghoa mengundang ingatan kita pada eventtahunan beberapa waktu lalu. Bulan Februari, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) kembali digelar di Ketandan, Yogyakarta. Event ini seolah sekaligus menunjukkan eksistensi masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Sayangnya orang lebih suka menikmati saja daripada mempelajari histori di baliknya.
Kebudayaan Tionghoa bisa dibilang masih sulit diterima sebagai bagian budaya di Indonesia. Kita lebih suka mengatakan itu kebudayaan orang Cina. Dengan mengatakan sebutan orang Cina saja sudah menunjukkan betapa diskriminatifnya masyarakat kita. Seperti kemelut politik beberapa waktu lalu, ketika kepemimpinan Ahok dipermasalahkan. Identitas Cina pada diri Ahok dijadikan alasan untuk menggulingkan dia dari posisinya.
Mereka sendiri tidak ingin disebut sebagai orang Cina. Tapi masyarakat menutup mata pada perbedaan antara Cina Tiongkok dan Tionghoa. Cina sebenarnya adalah sebutan untuk daratan China Tiongkok. Sementara orang-orangnya, terutama mereka yang tinggal di Indonesia lebih suka disebut Tionghoa. Di Indonesia pun, orang Tionghoa sebenarnya sudah peranakan. Dalam arti bahwa darah mereka sudah bercampur dengan darah suku lain di Indonesia.
Hasil sensus BPS pada 2010 menunjukkan populasi etnis Tionghoa di Indonesia hanya sebesar 1,2%. Jumlah yang dirasa cukup kecil dibanding kelihatannya. Padahal rasanya mudah untuk menemukan etnis ini di manapun di Indonesia. Bukan tidak mungkin ada kecemasan yang mereka rasakan. Label Tionghoa yang dioposisikan dengan pribumi tentu membuat mereka tidak nyaman. Apalagi permainan politik Orde Baru dulu berhasil memberi konotasi Komunis pada kata Cina.
Akulturasi Tidak Disadari
Di Yogyakarta, kampung seperti Ketandan seolah jadi perkampungan ekslusif untuk pecinan. Hal itu membuat pembedaan pribumi dan orang Tionghoa menjadi semakin kentara. Bidang kebudayaan pun tidak luput dari diskriminasi. Label kebudayaan Cina membuat masyarakat enggan mempelajarinya lebih jauh.
Masyarakat nampaknya tidak menyadari bahwa akulturasi budaya sudah terjadi jauh-jauh hari. Acara seperti Pekan Budaya Tionghoa dapat dijadikan sebuah cermin akulturasi di Yogyakarta. Kalau dilihat lebih dalam, konten seni yang ada sudah menunjukkan adanya akulturasi. Sebut saja misalnya Wacinwa, yang merupakan singkatan dari Wayang Cina Jawa.
Barongsai yang nuansa Tionghoa-nya kental pun sebenarnya produk akulturasi. Dikatakan demikian karena kata barongsai berasal dari Bali. Sementara di Yogyakarta sendiri barongan biasanya juga dipertunjukkan dalam kesenian Kuda Lumping. Barongsai merupakan modifikasi dari kesenian Tiongkok yang aslinya bernama Samsi. Samsi sebagai ritual, sementara Barongsai sudah menjadi acara hiburan. Namun sekali lagi, karena kebudayaan Cina, tidak banyak masyarakat merasa perlu tahu.
Akulturasi di bidang kuliner sebenarnya lebih terasa. Bakso, Cakwe, Kue Bolang-baling, Bakso sebagai contohnya. Makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia ini merupakan makanan adaptasi dari Tionghoa. Lebih nampak lagi ketika muncul makanan bernama Lontong Cap Go Meh. Jika hasil akulturasi saja diterima, harusnya kebudayaan lain pun diterima dengan baik.
Stigma masyarakat lebih berbahaya lagi. Dalam hal ekonomi, keturunan Tionghoa dianggap ahlinya, dianggap sebagai penguasa. Dengan demikian, masyarakat memukul rata orang Tionghoa dengan pandangan yang amat kaya. Padahal untuk menyelenggarakan event setara PBTY saja, usaha pencarian dananya masih ‘mengemis.’ Dana pemerintah bisa dibilang kecil untuk menyelenggarakan acara sebesar itu. Melihat kehidupan Cina Benteng yang bisa dibilang melarat mungkin bisa membuka mata masyarakat.