[caption id="attachment_399286" align="aligncenter" width="562" caption="Prof. Boediono (kompas.com)"][/caption]
Sekarang Pak Boed, dikenal (bahkan mungkin sudah terlupa), sebagai mantan RI 2. Ia tampil sebagai pengganti presiden, pekerja di balik layar, pelit bicara, dan tak jarang membuat media tidak mau meliputnya karena dinilai sebagai figur yang tidak ada news value nya.
Sikap sederhana, mantan Gubernur BI dan berbagai jabatan eksekutif lainnya di pemerintahan ini tak jarang dilihat oleh banyak orang, terutama media dan publik sebagi sosok yang menutup diri dan bahkan sering dicaci maki warga nya sendiri karena menganggap nya tidak pernah bekerja, karena tak pernah terlihat di layar kaca.
Terbiasa menjadi 'ban serep' sang (mantan) presiden, yang menjadi pengambil kebijakan dan sering bertugas ke luar negeri, pak Boed, tampil dalam sunyi dengan tangan yang selalu bekerja, membantu menyelesaikan apa saja urusan negara yang membutuhkan bantuannya. Merintis negeri dalam diam, dan dengan sabar memberikan pengabdiannya tanpa ingin diliput media.
Sekarang, sosok teknokrat tersebut sudah kembali ke rumah pribadi nya, tanpa pengawalan VVIP yang biasa berada disekeliling nya. Tak seperti gegap gempita sang mantan atasan yang disambut air mata, spanduk terima kasih (yang bahkan tidak menyertakan nama Pak Boed), yel yel, anak anak SD yang berbaris di pinggir jalan, dan jajaran mantan pejabat yang sudah berkumpul melakukan sambutan perpisahan, Pak Boed dan istrinya kembali ke rumah pribadi nya, tanpa sambutan, air mata, massa dan banyak media yang meliputnya. Bahkan kedua anaknya tidak berada di rumah. Ibu Herawati pun tergerak untuk mengabadikan momen kembalinya mereka sebagai masyarakat biasa dengan kamera pribadi nya. Dan didampingi mantan staf khusus dan juru bicara nya, mereka makan siang dalam diam, kontras dengan hingar bingar dan gegap gempita baik yang ada di belahan Jakarta lainnya, yang sedang berlangsung saat itu.
Esoknya, berbagai media yang berlomba meliput hari besar tersebut, tapi tak banyak yang menyisakan kolom untuk Pak Boed, salah satu kolom kecil di harian terkenal menceritakan bagaimana ibu Herawati yang mencuci piring sendiri, salah satu contoh kembalinya mereka ke dalam hidup rakyat biasa yang tidak dilayani, dan masih, tak banyak kisah yang bisa ditulis tentang Pak Boed.
Di edisi khusus Pelantikan, majalah Tempo juga menurunkan artikel perpisahan untuk sosok pak Boed yang tak kurang terdiri dari 2 halaman. Saya membaca tentang bagaimana sang mantan wapres ini membiarkan kucing liar yang tersesat di dalam istana wapres berada di sekitarnya, hatinya yang tidak enak dengan masyarakat luar jika bepergian untuk menengok cucu nya, karena berarti pengamanan VVIP yang melekat pada dirinya, mengharuskan jalan disekitarnya di sterilkan, atau kerinduannya terhadap rumah usang yang berada di Jogjakarta, rumah pertama yang dibangun dari hasil keringat nya.
Sekarang ia telah menepi dari urusan birokrasi, bersama sang istri, kembali ke rumah nya tanpa banyak mata memandang. Kita nanti akan mengingatnya. Mungkin kita yang sekarang cenderung melupakannya bahkan mencaci nya. Bagaimanapun namanya telah tercatat dalam sejarah negeri ini. Selesai sudah pak Boed bersama dengan kekuasaan. Dia tahu diri dengan perannya yang berada di gelanggang sebagai pengganti.
Ada juga yang pernah menudingnya miskin terobosan, karena ia taat perarturan. Dia juga bukan bintang liputan media, walau bukan berarti sedikit bekerja. Ia berwibawa tanpa banyak kata, pernah berkuasa namun tetap hidup sederhana.
Pak Boed terpuji karena laku sederhana, merintis jalan negeri sejahtera meski ia tak sepenuhnya berkuasa. Dalam kecamuk Belenggu para politisi yang mencaci nya, pak Boediono adalah contoh yang memilih sunyi dalam bekerja.
Terima kasih, pak Boed.
25 FEBRUARI 1943 : HARI KELAHIRAN BOEDIONO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H