Gereja tua Koting termasuk salah satu arsitektur peninggalan para misionaris Belanda. Gereja yang secara posisional memiliki nilai kesejarahan yang amat tinggi. Pasalnya, di tempat itulah bangunan gereja sejak pertama kali didirikan hingga pendirian kembali yang kedua masih tetap berdiri hingga hari ini.
Paroki St. Fransiskus Xaverius Koting, Keuskupan Maumere, memang telah memiliki gedung gereja baru pasca gempa 1992 yang amat hebat itu. Gedung gereja baru itu didirikan di atas runtuhan gereja lama yang posisinya berhadapan dengan gereja tua. Namun, corak arsitekturnya khas kontemporer gereja-gereja lokal, yang mengikuti semangat eklesiologi Konsili Vatikan II.
Gereja tua Koting hingga hari ini masih berdiri. Gereja yang menjadi 'security building' bagi biara susteran Congregatio Santo Volto (CSV), yang lebih akrab sebagai para suster Wajah Kudus, kini kondisinya memprihatinkan. Ia seperti anak terlantar.
 Beberapa renovasi kecil, perbaikan pada bagian dinding dan pemugaran warna, amat tak berarti dibanding perhatian secara keseluruhan.Â
Sudah sepatutnya gedung tersebut menjadi perhatian Keuskupan, bahkan kiranya dijadikan warisan budaya. Koting, merupakan salah satu pusat misi kala para Jesuit berkarya di sana.Â
Bahkan menjadi juga pusat pendidikan yang dibanggakan. Akademi yang mentereng kala itu kini tinggal kenangan, selain dari para alumninya. Itu pun tak sedikit dari mereka yang tinggal nama baiknya semata sebagai pengajar handal.Â
Apakah gereja tua, yang nilai historisitasnya amat besar ini, akan juga pergi tanpa meninggalkan apa pun selain cerita sejarah. Mari, beri hati untuk gereja tua. Jadikan situs sejarah dan peradaban.Â
Setidaknya, darinya atau kepadanya generasi ini dan selanjutnya memandang kejayaannya, juga panduan dan pedoman arah menilai peradaban mengarungi zaman.
Gereja tua Koting, secara arsitektur, tidak jauh berbeda dengan gereja tua Sikka yang pesonanya masih terjaga dengan cukup baik hingga kini. Bahkan, bagi saya, keduanya kembar.Â
Pesona gereja tua Sikka sejatinya terpelihara bukan semata-mata perhatian dan pemeliharaannya, tetapi lebih dari itu ialah pada 'sensus sacrum'-nya, pada rasa sakralnya, yakni berdoa dan merayakan ekaristi di dalamnya dengan giat, semangat, dan sukacita yang terus mengalir pada keseharian hidup.
Gereja tua Koting dapat dibangunkan dari tidur panjangnya akibat dinginnya kehidupan beriman. Gereja tua itu menjadi hidup sejauh ia dihidupi, lewat memberi hati dan roh kepadanya.Â