Sarlin membanggakan NTT, membanggakan Indonesia. Sarlin sudah membanggakan NTT dengan keterpilihannya, semoga ia membanggakan Indonesia di Caracas, Venezuela pada Oktober mendatang.
Dara blasteran Amerika-Timor ini telah teruji dan terpilih dalam perspektif dewan juri sebagai yang terbaik. Sarlin tentu punya trek yang tak sama dengan Clarita (pemenang Putri Pariwisata Indonesia 2019). Sarlin punya tanggungan tersendiri, demikian juga dengan Clarita.Â
Sarlin di dunia sosial kemanusiaan (social humanity), Clarita di lingkup pariwisata (tourism). Keduanya, yang sama-sama dari NTT, punya tanggungan sebagai generasi milenial untuk literasi melalui alam teknologi komunikasi 4.0.Â
Sarlin tentu akan mempromosikan NTT seperti Clarita, tetapi praksisnya tak sebatas destinasi wisata. Sarlin punya tanggungan di kemanusiaan lebih luas.Â
Catatan kecil buat Sarlin ialah perkara perdagangan manusia dan migrasi dari Timur Tegah. Keduanya merupakan perkara Indonesia. Di mata dunia, kedunya punya potensi besar menjadi sorotan.
Mengenai yang pertama, perdagangan manusia. Perdagangan manusia, satu dari banyak perkara Indonesia, menjadi urgen. Dari perkara itu, Sarlin, sebagai anak Kupang, karena keturunan, kelahiran dan hunian, perlu mencatatnya, bahwa orang Timor khususnya dan NTT umumnya turut menyumbangkan keburukan itu bagi Indonesia. Perdagangan manusia juga terjadi di NTT.Â
Kampanye terhadap anti perdagangan manusia perlu digiatkan, bukan dalam kata semata apalagi secara virtual, tetapi perlu secara aktual dengan tindakan dan aneka aksi konkret di masyarakat. Kerja sama dengan banyak pihak, nasional dan internasional perlu segera dikerjakan.
Selanjutnya, tentang yang kedua, migrasi para pencari suaka. Satu perkara yang tampak kecil, tetapi tak dapat disepelehkan, ialah para pencari suaka. Ini menjadi juga yang urgen. Perlu pendalaman atasnya karena kita tak dapat bertindak hanya dengan fondasi kemanusiaan semata.Â
Kemanusiaan perlu juga dari sudut keadilan dan hukum. Kita wajib atas kemanusiaan, tetapi tak dapat mengabaikan kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu nyata dalam kebijakan dan penanganan kemanusiaan sebagai buah pertimbangan matang.Â
Contoh kecil dari perkara kemanusiaan itu: Indonesia, karena Pancasila secara formal dan karena kemanusiaan secara eksistensial, mengharuskan atau mewajibkan kita sebagai pribadi dan bangsa menerima setiap pencari suaka. Waktu dan ruang, sebagai kapasitas dan kapabilitas kita, pribadi dan negara, tak serta-merta membuat kita bertindak.Â
Untuk waktu "tertentu" kita berkewajiban. Namun ke-"tertentuan" ini menjadi problematis. Negara, dalam hal ini lembaga yang berkepentingan, rela karena demi kemanusiaan, memodifikasi dana tertentu agar para pencari suaka tertolong.Â