Maka, poin pertama ini perlu dikurangi: yakni mudah untuk stres. Enam hal berikut kiranya dapat menuntun kita untuk tidak mudah stres.
Menghindari ketergesa-gesaan. Tidak dapat disangkal, bahwa terkadang kita bisa marah karena tergesa-gesa.Â
Kita ingin segala-galanya berlangsung cepat dan tanpa mengeluarkan banyak energi atau materi atau waktu.Â
Singkat cerita, kita ingin hal yang instan. Padahal, tidak semua hal bisa berlangsung dengan proses yang cepat. Memang, ada kalanya kita memiliki alasan logis agar sesuatunya berlangsung dengan cepat atau kita ingin bergegas. Dibutuhkan pengorbanan, energi, dan sebagainya.Â
Kalau apa yang kita inginkan tidak berjalan dengan mulus dan cepat, di situlah kita stres dan akhirnya marah atau marah dan kemudian stres.
Tim Hansel dalam When I Relax I Feel Guilty juga telah memberi ide yang senada:
Dunia tampak mabuk dengan ketergesa-gesaan, dibanjiri oleh topan hasrat untuk mempercepat masa depan. Ini mungkin menjadi salah satu dosa terburuk zaman ini. Dengan ketidaksabaran, kita membuat segala hal terjadi. Kita dengan kurang hati-hati melewatkan hal yang sangat penting. Tidak mengherankan bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk menikmati kesenangan sederhana dari dunia seperti: angin yang membelai wajah, bau sedap yang terhidup, dan rumput basah di telapak kaki.
Menurunkan harapan. Kita pasti memiliki target atau capaian yang gilang-gemilang dalam jumlah yang tak terkira baik harian, bulanan, atau tahunan. Ini adalah kecenderungan manusiawi.Â
Di sinilah kita perlu menahan diri untuk memberikan batasan dan menurunkan harapan pada apa yang tidak akan mungkin bisa tercapai dan terwujud. Kalau tidak, kita akan stres dan berakhir dengan marah.
Akan lebih menyenangkan dan dapat dipertanggungjawabkan apabila kita tahu batasan kemampuan, tenaga, materi, dan waktu untuk pelbagai hal yang tak dapat diraih.Â
Kita harus berani berkata "Tidak!" untuk hal yang tidak pasti baik kepada diri sendiri maupun orang lain.