Mohon tunggu...
Frajna Puspita
Frajna Puspita Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Lepas

Senang menulis, membaca, dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Kafka

20 Agustus 2022   13:47 Diperbarui: 20 Agustus 2022   13:54 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Praha, 1883, industri revolusi baru saja dimulai. Di sebuah keluarga kelas-menengah, lahirlah seorang anak tertua dari pasangan Yahudi-Jerman, Hermann Kafka dan Julie Löwy. Bayi itu diberi nama Franz. Hermann dulunya adalah seorang pedagang keliling, ia pria yang menakutkan, pemarah, dan kasar. Dalam karyanya, Franz menggambarkan sang ayah sebagai seorang tiran penyembah materi dan mementingkan status sosial. Ia senang menyiksa Franz di masa kecil. Sang ayah suka mengkerdilkan Franz, tidak pernah berbaik hati kepadanya, dan selalu menghakimi serta berkata kasar kepada Franz ketika tidak memenuhi standar yang ia inginkan. Suatu malam, Franz meminta segelas air dan ayahnya yang pemarah langsung menyeretnya turun dari tempat tidur, membawanya ke balkon, dan meninggalkannya di sana, di tengah dinginnya hujan salju hanya dengan memakai baju tidurnya. Ayahnya juga melarangnya untuk berbicara, “Tidak boleh ada sangkalan!” geramnya, yang membuat Franz merasa tidak berdaya. Ia merasa sangat terintimidasi oleh perlakuan-perlakuan ayahnya yang juga berbadan jauh lebih besar darinya. Pengalaman itu kelak meninggalkan trauma seumur hidup bagi Franz. Alhasil, Franz tumbuh menjadi anak yang penakut, kutu buku, dan membenci dirinya sendiri. Namun, Franz menyukai buku dan ingin menjadi seorang penulis, sebuah keputusan yang tentu saja ditentang habis-habisan oleh sang ayah.

Akhirnya, Franz terpaksa bekerja di sebuah kantor pengacara lalu berpindah ke perusahaan asuransi yang akhirnya menimbulkan stres dan frustrasi. Namun, Franz tetap menulis cerita-cerita pendek di paruh waktunya. Ia menjalani kehidupan ganda; bekerja dari pagi hingga sore hari lalu mulai menulis di malam hari. Kafka hanya mempublikasikan tiga karya seumur hidupnya, termasuk The Metamorphosis, salah satu karya terbaiknya, yang saat itu masih buram dan belum dikenal oleh siapapun. Reputasinya yang gemilang berasal dari tiga novel yang ia tulis: The Trial, The Castle, dan Amerika, yang ketiga-tiganya tidak pernah ia selesaikan karena Franz tidak menyukainya. Dia bahkan meminta Max Brod, sahabatnya, agar membakar buku-buku tersebut ketika ia meninggal. Untungnya, Max Brod tidak menuruti permintaan sahabatnya itu.

Franz Kafka memang tidak pernah menulis apapun tentang ayahnya, tetapi psikologi karya-karya yang ditulisnya berkaitan langsung dengan penderitaan yang sudah ia alami sejak kecil sebagai anak yang tidak pantas dan tidak pernah dicintai oleh sang ayah, Hermann Kafka. Meskipun Franz adalah korban kekerasan domestik, ia masih berharap pengampunan kepada orang yang sudah berbuat jahat kepadanya. Bahkan, lima tahun sebelum Franz meninggal, ia sempat menulis surat sepanjang 42 halaman untuk ayahnya, menceritakan penderitaan yang dia alami dan betapa ayahnya tidak pernah menyadari hal itu. Surat itu kemudian ia berikan kepada ibunya, dengan harapan agar diteruskan kepada sang ayah. Namun, beberapa hari kemudian, ibunya memintanya datang dan mengembalikan surat itu karena berpikir bahwa ayahnya terlalu sibuk dan tidak perlu membacanya. Franz tidak pernah mencoba memberikan surat itu lagi.

Ketika berumur 40 tahun, Kafka menghidap penyakit tuberculosis di area kerongkongan yang membuatnya tidak bisa makan, hingga akhirnya ia meninggal. Beberapa tahun setelah kematiannya, reputasinya mulai melambung tinggi dan akhirnya dikenal sebagai salah satu penulis terbaik di era Perang Dunia ke-2. Namun, keluarganya ditangkap dalam tragedi Holocaust, dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dan terpaksa menghirup gas beracun hingga meninggal dunia. 

“Many a book is like a key to unknown chambers within the castle of one’s own self.” Karena tragedi hidupnya, karya-karya Franz Kafka mempunyai model kepenulisan sendiri yang disebut dengan “Kafkaesque”, yang dikenal kompleks, surealis, dan membuat perasaan menjadi muram. Karya-karyanya begitu tajam. Kafka mengeksplor salah satu sudut tergelap di hati manusia dengan brilian yang kemudian mamboed saya melihat sisi lain dari sebuah mata koin; dunia yang berisi ironi dan penderitaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun