Mohon tunggu...
Wilda Simanjuntak
Wilda Simanjuntak Mohon Tunggu... Freelancer - pelajar

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Digitalisasi Wayang dalam Kearifan Lokal Ruwutan

27 Februari 2024   13:01 Diperbarui: 27 Februari 2024   13:09 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing, sering juga disebut sebagai kebijakan setempat "local wisdom" atau kecerdasan setempat "local genius".

            Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki ribuan budaya, tentu saja memiliki kearifan lokal yang amat banyak. Jawa Tengah, sebagai bagian penting dari keberagaman budaya Indonesia, memiliki warisan tradisional yang kaya dan bernilai tinggi. Salah satu warisan tersebut adalah tradisi Ruwatan, sebuah ritual yang mencerminkan kearifan lokal dan spiritualitas masyarakat Jawa Tengah.

            Ruwatan berasal dari kata "ruwat," yang berarti membersihkan atau menyucikan. Tradisi ini seringkali melibatkan serangkaian ritual keagamaan dan adat yang bertujuan untuk membersihkan energi negatif, mengharapkan keselamatan, dan menjaga keseimbangan alam semesta.

Tradisi Ruwatan, Tradisi yang Lahir dari Kisah Perwayangan

            Asal usul tradisi ruwatan adalah dari cerita perwayangan. Dikisahkan ada seorang tokoh yang bernama Batara Guru yang memiliki dua orang istri, yaitu Pademi dan Selir. Batara Guru dan Pademi memiliki seorang anak yang diberi nama Wisnu. Ia tumbuh menjadi anak yang berbudi pekerti baik.

            Pada suatu hari, Batara Guru dan Selir sedang mengelilingi samudera dengan menaiki punggung seorang lembu. Tiba-tiba, Batara Guru tergoda untuk memadu asmara dengan Selir, tetapi air benih kehidupan atau "kama" tumpah di samudera. Kama yang keluar tak pada tempatanya ini disebut kama salah, kemudian berubah menjadi raksasa sebesar gunung bernama Batara Kala. Ketika Batara Guru mendengar kekacauan di bumi, ia memerintahkan para dewa untuk menyelidiki.

            Ternyata, kekacauan yang terjadi ini disebabkan oleh Batara Kala yang meminta makanan yang berupa manusia kepada ayahnya. Batara Guru pun mengizinkan dengan syarat manusia yang ia makan adalah Wong Sukerta. Wong Sukerta adalah orang-orang yang mendapat kesialan, contohnya anak tunggal. Oleh sebab itu, setiap anak tunggal harus diruwat agar terhindar dari malapetaka dan kesialan.

Sajen dan Wayang Sebagai Bagian dari Prosesi

            Dalam pelaksanaan Tradisi Ruwatan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satu dari persyaratan tersebut adalah sajen. Sajen adalah sajian yang berupa panganan, kembang, dan sebagainya, yang disajikan dalam upacara keagamaan atau adat lainnya, yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan simbol konektivitas dengan kekuatan gaib.

            Sajen yang digunkan dalam Tradisi Ruwatan tidak hanya berupa makanan, tetapi ada juga benda-benda lain, di antaranya yaitu, ratus atau kemenyan wangi, kain mori putih, kain batik, padi segedeng, beragam nasi, jenang, jajan pasar, benang lawe, aneka rujak, air tujuh sumber, dan bunga setaman.

            Setelah sajen siap, pagelaran wayang dapat dimulai oleh dalang. Adanya pagelaran wayang diharap dapat membawa makna kehidupan yang baik bagi mereka yang menginginkan. Lakon yang dipentaskan dalam pagelaran wayang ini adalah lakon khusus Murwakala atau Sudamala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun