Generasi milenial merupakan generasi pertama dari generasi digital yang lahir di dunia teknologi, maka tidak heran jika mereka diberkahi pengetahuan tentang dunia teknologi. Generasi ini dikelompokan berdasarkan usia antara 17-37 tahun. Istilah milenial pertama kali dipopulerkan oleh william strauss dan neil howe pada tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir di tahun 1982 masuk pra sekolah, dan saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000.
Generasi ini umumnya ditandai dengan keakraban mereka dengan media komunikasi dan teknologi digital. Hal ini membuat mereka sangat dekat dengan perangkat teknologi seperti smartphone dan laptop, yang sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Generasi ini menyadari bahwa internet telah menciptakan kemudahan bagi mereka.
Generasi milen1al akan menjadi generasi penentu saat bonus demografi. Bila dilihat dari populasi milenial Indonesia jumlah penduduk usia produktif (15-64) akan lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (<15 tahun dan >64 tahun) pada 2030 (Lokadata, 1 April 2020).
Pada tahun 2017, survei Centre Strategic And International Studies (CSIS) menunjukan bahwa milenial indonesia mengalami tiga kesulitan utama, yakni terbatasnya lapangan pekerjaan (25%), tingginya harga sembako (21%) dan tingginya angka kemiskinan (14%). Untuk itu, sebagai penunjang kemandirian dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatkan standar hidup, sangat diperlukan pemberdayaan ekonomi sebagai upaya menciptakan daya saing untuk berkontribusi langsung terhadap pembangunan nasional.
Pada dasarnya kemajuan teknologi telah menawarkan manfaat berdaya guna dalam rangka menciptakan peluang ekonomi bagi milenial. Namun kondisi ekonomi yang tidak merata kerap menyebabkan tidak teraksesnya sumber daya oleh sebagian  milenial berkalangan menengah kebawah.
Tujuan pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama yang masuk dalam kategori miskin, keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak (Neila Susanti & Marliyah, 2018).
Maka diperlukanlah pemberdayaan ekonomi bagi para milenial, terutama yang berkalangan menengah kebawah. Karena pada dasarnya konsep pemberdayaan muncul sebagai reaksi dari model pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat (milenial) lemah yang tidak mempunyai sumberdaya.
Persoalan Milenial Saat Ini
Menurut data Mckinsey Global Institute (2019), menunujukan bahwa indonesia membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil pada tahun 2030. Sehingga mileneial dalam bekerja harus membekali dirinya dengan ketrampilan agar bonus demografi dapat dimanfaatkan dengan baik. Tetapi apabila tidak berketrampilan maka bonus demografi akan dapat menimbulkan ancaman bagi milenial.
Ketrampilan kerja dapat membantu milenial memperoleh pekerjaan yang layak, tanpa ketrampilan milenial bukan hanya akan kehilangan kesempatan mengakses papan yang layak, tapi menjalar ke kebutuhan-kebutuhan pokok lain. Karena persoalannya, dunia kerja kini juga diancaman oleh robotisasi dan otomatisasi kerja.
Berdasarkan riset organisasi buruh internasional (ILO) di 2016 menyebutkan bahwa fenomena otomatisasi industri memberikan ancaman bagi 242,2 juta (56 persen) buruh di asia tenggara yang merentang di bidang industri otomotif, garmen, retail, hingga outsourcing (Tirto, 4 Januari 2017).