Mohon tunggu...
Frainto Julian Kalumata
Frainto Julian Kalumata Mohon Tunggu... Freelancer - Halmahera Utara - Salatiga

Frainto kalumata, sapa saja frento. Lahir 11 juli 1996 di kota Tobelo. Kota kecil yang berada di halamahera Utara. Mahasiswa manajemen Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Jejaknya bisa di lacak melalui akun instagram @frentokalumata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Intelektualisme Hari ini

17 Maret 2020   18:46 Diperbarui: 17 Maret 2020   20:15 2144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intelektualisme terdiri dari dua kata yakni "Intelek" dan "Isme". Intelek merupakan kosakata Latin: intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Sedangkan Isme menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah sufiks pembentuk nomina; seperti sistem kepercayaan yang berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. 

Dengan demikian dapat di artikan bahwa Intelektualisme adalah paham yang mendorong seseorang untuk mencari pemahaman pengertian dan kecerdasan yang di landasi oleh pendalaman ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam Wikipedia, Intelektualisme adalah ketaatan atau kesetiaan terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu berdasarkan ilmu.

Dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya atau hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan pengenalan (kognisi) melalui akal serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan indra serapan. Intelektualisme dekat dengan rasionalisme.

Dalam filsafat Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indra serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh. Intelektualisme mengharuskan adanya akal atau kecerdasan otak untuk berpikir secara rasional. Plato dan Aristoteles merupakan tokoh intelektualis yang mendasari paham intelektualisme. Pada masa modern, Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Selan itu, beberapa tokoh muslim menjadi intelektualis seperti Fethullah Glen, Muslim Syaikh Yusuf al-Qaradawi, Orhan Pamuk, Muhammad Yunus, Amr Khalid.

Pada masa kini, mahasiswa sebagai kaum intelek diharapkan mampu menjunjung intelektualisme dalam dirinya. Beranjak dari sejarah 1998, perjuangan mahasiswa dapat di maknai sebagai langkah awal dalam mewujudkan dunia intelektual indonesia yang lebih demokratis. Perjuangan untuk menuntut kebebasan dalam berpendapat, kebebasan dalam berpikir melalui ruang-ruang diskursus,  guna melahirkan suatu kebenaran yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Perjuangan tersebut sejatinya adalah melawan "Anti-Intelektualisme" oleh penguasa saat itu. Perjuangan 1998 telah menjadi sejarah, namun spritnya harus tetap mendarah daging. Selaku mahasiswa kita perlu menghindari sikap "Anti-Intelektualisme" yang menjadikan kebodohan tanpa sadar kian tumbuh subur.

Kita kerap kali diperhadapkan dengan ejekan semacam "ah, teori", "cuma bisa ngomong teori doang". Menurut Zen (2016) Ejekan semacam itu mencerminkan sikap anti-intelektualisme. Dalam konteks Indonesia, ejekan semacam itu tidak datang tiba-tiba. Ada prakondisi yang memungkinkan ejekan semacam itu tumbuh subur. Secara etimologi, teori meniscayakan kesediaan mempertimbangkan, berspekulasi, menggugat, dan mempersoalkan (dari kata theoria dan theorein dalam Yunani). Dalam ilmu pengetahuan, teori selalu merupakan agregasi tiada henti dari berbagai fakta, beragam hipotesis, yang satu sama lain saling berdialog dan kadang bertarung, sampai kemudian disepakati sebuah rumusan. Dalam perjalanannya, setiap rumusan juga akan menghadapi tantangan dari fakta-fakta baru, konteks-konteks baru, temuan baru. 

Cepat atau lambat zaman yang semakin pragmatis akan menggeser "Intelektualisme" ke "Anti-Intelektualisme" sehingga kita bisa temui bahwa banyak sekali perjumpaan-perjumpaan mahasiswa hanya diisi oleh obrolan-obrolan mengenai seksisme, hedonisme dan berbagai hal lainya. Tidak ada batasan, namun mahasiswa sebagai kaum intelektual  harus secara sadar menjunjung "Intelektualisme" dalam kehidupan akademis serta bermasyarakat.

REFERENSI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun