Mohon tunggu...
Fahmi Rahman
Fahmi Rahman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar Beatles, Naif, om Bob dan mas Pram.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Petani Perempuan, (Masih) Tanpa Tanah

23 Maret 2015   20:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:11 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siti..

Sabaraha Bu umurna?

Sabaraha nya??

Suami, mati.

Menantu. Ke gunung, gali batu, mati!

Warisannya, 5 anak. Bungsu, 10 tahun, kelas empat SD. Sisanya, ke kota, kuli.

Siti adalah seorang petani, petani penggarap. Lahan yang dijadikan kebun, merupakan areal perkebunan HGU. Awal berkebun, lahan tersebut merupakan perkebunan jati dan karet. Milik PT. Hevea Indonesia. Karena perkebunan tersebut terlantar, Siti membersihkannya. Awalnya hanya area dekat jurang, lalu meluas sampai ke dekat jalan. Total kebunnya, hampir setengah hektar. Tidak semuanya dia tanami, karena lahannya banyak yang miring.

Tujuh setengah tahun lalu Siti mulai berkebun. Saat si bungsu berusia 2,5 tahun. Siti membersihkan lahan, menebang jati dan karet, anaknya yang menanam pisang, singkong dan ubi.

Hasil berkebun, hanya cukup membiayai si bungsu sekolah, dan cucunya. Di rumah, Siti tinggal dengan si bungsu, dan sang cucu yang ditinggal ibunya kuli ke kota. Cucunya yatim, bapaknya ke gunung, gali batu, mati.

Kadang Siti menjadi buruh, untuk memenuhi  tiga mulut dirumah. Ngoyos, ngored.

Setiap hari minggu, Siti pergi ke pengajian. Karena sudah tua, Siti merasa pengajian banyak manfaatnya. Saat sakit, tidak datang ke pengajian, orang pasti bertanya. Datang dapat pahala, tidak datang dapat kunjungan.

Pisang, hanya dijual sepuluh ribu satu tandan. Kadang hanya lima ribu. Saat menjual, paling hanya dapat enam puluh ribu. Harus cukup untuk satu minggu. Saat panen singkong atau ubi, hasilnya bisa buat beli baju anak, juga cucu. Keperluan sekolah juga sekalian dibeli.

Dua tahun lalu, kebunnya dirusak. Tanaman pisangnya di cacag. Singkong dicerabut. Malam hari kebunnya dirusak.

Saat ke kebun pagi hari, Siti menangis. Berteriak. Duduk. Diam. Menjerit kesetanan.

Bersama teman senasib, Siti pergi ke Cibinong, untuk mengadu. Katanya, Bupati sedang umroh. Siti menuntut, menolak HGU kembali beroperasi di kampungnya. Temannya menuntut, izin HGU yang habis, tidak boleh lagi diperpanjang. Petani menuntut, bagikan tanah untuk rakyat!

Siti dikelilingi polisi. Siti ngoceh, ditengah para polisi.

“Heh pak Polisi, bapak moal make seragam lamun euweuh patani. Moal boga gajih gede lamun euweuh patani. Moal aya gudang pare, moal aya gudang beas, moal aya baju loreng, lamun euweuh patani!”

Polisi nyengir, Siti mikir.

Dalam hati, ada juga rasa takut dan was-was. Karena temannya ada sepuluh truk, dia berani.

Banyak temannya menjadi takut lagi bertani, beralih profesi. Ada juga yang kerjanya hanya niupin kemenyan.

“Ibu mah, menyan teu ka beuli. Dariapada niupan menyan, mending melak cau”

Hevea Indonesia mulai menggarap lagi tanahnya yang sudah terlantar. Meski izin kelolanya habis, operasional dilapangan mulai dijalankan lagi. Preman dan jawara disewa untuk mengamankan.

Juga kebun garapan Siti, ditanami sawit. Malam sawit ditanam, pagi dia lempar. Tanam lagi, lempar lagi.

“ Pak Lurah, coba bela kami. Ulah ka Nanggela wae. Ka Rancagenggong teh ulah lewat hungkul. Aya opak gede lain di Nanggela?”

Suatu pagi, Siti dikebun. Ada pak Lurah, ada mandor perkebunan. Sawit yang semalem ditanam, Siti lemparkan ke mandor. Gak kena. Siti ambil tanah merah basah, dia lemparkan ke mobil pengangkut bibit. Kotor mobilnya.

Masih kesal, Siti ambil arit. Menunjuk langit, Siti kejar orang-orang. Mandor kabur, pak Lurah juga kabur.

“ulahhh pokonaa mahh. Ulahh dipetakk. Ulah dipelakan sawittt. Aing hayang ngebonnn”.

[caption id="attachment_357084" align="aligncenter" width="427" caption="Siti, petani berani dan tangguh!"][/caption]

[caption id="attachment_357086" align="aligncenter" width="640" caption="Siti, teman dan tuntutan"]

14271182401529982616
14271182401529982616
[/caption]

[caption id="attachment_357088" align="aligncenter" width="427" caption="Para petani perempuan tangguh"]

1427118401197573933
1427118401197573933
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun