Terlahir dari rahim wanita kuat, bercumbu dan bercanda pada batu-batu karang pada masa kanak-kanak, beranjak dewasa pada badai dan alam tropica yang tak kenal kompromi. Kehidupan dan alam yang keras ini telah menjadi 'rumah' formatio yang kelak melahirkan lelaki kuat, tangguh, penuh dedikasi dan totalitas tinggi dalam pengabdian hidupnya kini. Dia adalah Piet Meran Roma, Sang Komdan (baca: komandan) Abadi Linmas.
Globalisasi digital dan disrupsi teknologi yang berhembus kencang dewasa ini tidak serta merta menggoyahkan spiritnya untuk tetap teguh berdiri pada kaki sendiri dan ia akan tetap menjadi diri sendiri. Dirinya yang tidak mudah menyerah dan terus berjuang atas nama Komdan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Karakter yang kokoh kuat pada dirinya ini laksana batu karang tempat ia ditempa sedari dulu.Â
Ia tidak pernah dilantik jadi Linmas apalagi jabatan sebagai Komdan. Ia juga tidak pernah menerima jatah pakaian Linmas, gaji juga tidak, apalagi THR (Tujangan Hari Raya), tapi ia tidak galau, lebay, baperan, mogok kerja, apalagi menjadi dalang aksi demonstrasi? Semua itu tidak ada dalam kamus hidupnya karena ia sadar bahwa menjadi Komdan Abadi Linmas yang sekarang ia sandang dan untuk seterusnya tak tergantikan karena ia bukan dipilih oleh masyarakat tetapi ia memilih dan mengiyakan dirinya sendiri dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya kelak.Â
Sang Komdan tentu belajar dari guru pengalaman di mana jika ia memilih sistem pemilih normatif maka masa jabatan adalah periodik dan dapat tergantikan sewaktu-waktu. Ia tentu tidak mau bermain pada disposisi ini karena ia tahu rasio dan peluang dalam kalkulasi politik pemilihan berdasarkan pahamnya sendiri.Â
Berdasarkan kalkulasi politik ini Sang Komdan mengambil resiko untuk menempuh jalur 'independen' dengan hitung-hitungan satu pemilih, satu pemenang. Pemilih itu adalah dirinya dan yang akan dia pilih adalah dirinya sendiri juga. Dan...ia menang atas dirinya. Sebuah strategi 'pemilu' Komdan Linmas yang logis agar aman dan abadi.
Apakah menjadi komdan karena sebuah ambisi? Tentu tidak. Kita bisa mengamati, melihat, lalu mengujinya sebagai sebuah 'riset politik' pada diri Sang Komdan.Â
Anda akan menemukan sebuah kesimpulan dari sebuah riset politik yang meyakinkan bahwa bahwa tidak ada sedikit pun ambisi dalam diri Sang Komdan. Kenapa? Ia tidak mengerti tentang ambisi. Ia hanya mengerti tentang pengorbanan dan pengabdian.Â
Persis dua kata terakhir ini; pengorbanan dan pengabdianlah yang menjadi kata kunci dalam diri Sang Komdan untuk selalu bekerja, bekerja, dan bekerja.Â
Berlandaskan spirit pengorbanan dan pengabdian itulah Sang Komdan selalu ada bersama rakyat yang adalah tuannya. Pepatah tua bilang, di mana ada gula di situ ada semut.Â
Demikianlah juga Sang Komdan, dimana ada keramaian entah itu kegiatan sosial masyarakat, pesta, kerja bhakti, kegiatan keagamaan, kegiatan kebudayaan, kedukaan, dapat dipastikan di situ pula ada Sang Komdan.Â
Jiwa dan raganya begitu gelisah jika ia berhalangan, hati dan tangannya  selalu terulur untuk tidak mau melewatkan semua momen bersama masyarakat. Suka duka masyarakat adalah suka dukanya.
Sang Komdan yang punya spirit solidaritas mumpuni didukung oleh aliansi strategik dengan membangun platform jejaring kolaborasi menjadi daya jiwanya yang menjadikannya selalu dirindukan dan kesejukan damai bila ada dia di antara kita. Kehadirannya selalu membawa solusi yang berpijak pada jalan keterbukaan untuk perubahan.