Mohon tunggu...
Fradila Cindi
Fradila Cindi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate student at University of Jember

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meningkatnya Fenomena Flexing dan Thrifting sebagai Dampak Kapitalisme Global

13 Maret 2024   21:42 Diperbarui: 13 Maret 2024   21:47 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Flexing dan thrifting adalah dua fenomena yang mencerminkan dampak dari kapitalisme global yang berlebihan. Mereka menunjukkan bagaimana masyarakat terjebak dalam siklus materialisme yang tidak berkesudahan, mencari kebahagiaan dan kepuasan melalui konsumsi dan pameran diri di media sosial. Flexing, yang melibatkan peragaan kekayaan dan prestise, seringkali terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris. Di sisi lain, thrifting, yang merupakan kegiatan membeli barang-barang bekas, menjadi semakin populer di negara-negara berkembang, terutama di kalangan generasi muda.

Flexing dan thrifting juga merupakan fenomena yang tidak hanya terkait dengan aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga memiliki implikasi yang signifikan dalam studi hubungan internasional. Dalam konteks globalisasi dan interkoneksi yang semakin meningkat, fenomena ini mencerminkan dinamika yang kompleks antara negara-negara di seluruh dunia. Flexing dapat dipandang sebagai manifestasi dari persaingan kekuatan antarnegara. Ketika negara-negara mencoba untuk menunjukkan keunggulan dan prestise mereka melalui eksploitasi sumber daya dan pengaruh mereka, hal ini seringkali dilakukan dengan cara yang mencerminkan praktik flexing.

Pada dasarnya, keduanya adalah respons terhadap budaya konsumtif yang diperkuat oleh adanya sistem kapitalisme global. Flexing muncul sebagai upaya untuk menunjukkan status sosial dan keberhasilan, sementara thrifting, meskipun tampak berlawanan, sebenarnya merupakan bentuk lain dari konsumsi yang dipicu oleh kebutuhan akan barang-barang yang terlihat unik atau berharga. Dalam keduanya, kebahagiaan dan kepuasan diukur oleh seberapa banyak barang yang dimiliki atau dipamerkan, dan seberapa banyak pengakuan yang diterima di media sosial.

Di sisi lain, thrifting juga memiliki implikasi dalam studi hubungan internasional, terutama dalam konteks perdagangan global. Praktik thrifting dapat mempengaruhi aliran perdagangan internasional, dengan mempengaruhi baik produksi maupun konsumsi barang. Negara-negara yang menerima banyak barang bekas dapat mengalami penurunan permintaan terhadap barang-barang baru, yang dapat memengaruhi ekonomi domestik dan perdagangan luar negeri. Sebagai contoh, negara-negara di Eropa Barat yang menerima impor besar-besaran pakaian bekas dari negara-negara maju sering kali mengalami penurunan permintaan terhadap produk garmen baru. Hal ini tidak hanya berdampak pada industri garmen domestik, tetapi juga mengganggu keseimbangan perdagangan dan kinerja ekspor negara-negara tersebut.

Selain itu, fenomena thrifting juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang keadilan ekonomi global. Ketika negara-negara maju mengimpor barang-barang bekas dari negara-negara berkembang dengan harga murah, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan ekonomi dan kesenjangan antara negara-negara yang kaya dan miskin. Sebagai contoh nyata, Afrika menjadi salah satu tujuan utama untuk ekspor pakaian bekas dari negara-negara Barat. Meskipun tampaknya memberikan opsi yang terjangkau bagi konsumen di negara-negara berkembang, ini dapat merugikan industri tekstil lokal dan mendorong ketergantungan pada impor, yang pada gilirannya merusak pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Flexing menciptakan ketidaksetaraan sosial yang lebih dalam, meningkatkan tekanan pada individu untuk terus-menerus bersaing dan menunjukkan keberhasilan materiil. Sebagai contoh, di media sosial, terutama di platform seperti Instagram, individu sering kali merasa terdorong untuk memamerkan gaya hidup mewah dan pencapaian material mereka. Misalnya, seorang selebriti yang memamerkan mobil mewah atau liburan mewah mereka dapat memberikan tekanan psikologis pada pengikut mereka untuk mengejar standar yang tidak realistis, bahkan jika itu berarti terjerat dalam utang atau menciptakan ketidakpuasan hidup yang dalam.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak negatif dari kedua fenomena ini. Mengenai thrifting, peraturan yang membatasi impor barang bekas dapat membantu melindungi industri lokal dan menciptakan lapangan kerja. Namun, penting untuk mengambil pendekatan yang seimbang, memperhatikan kebutuhan konsumen yang mungkin bergantung pada barang-barang murah dan berusaha untuk mempromosikan kesadaran akan dampak lingkungan dari konsumsi berlebihan. Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong inovasi dalam daur ulang dan pengolahan limbah untuk mengurangi dampak negatif dari penimbunan barang bekas yang tidak terpakai.

Di sisi lain, untuk mengurangi fenomena flexing, pendidikan tentang nilai-nilai yang lebih berkelanjutan dan kebahagiaan yang tidak bergantung pada materi perlu diperkuat. Pemerintah dapat mempromosikan kampanye kesadaran sosial yang menekankan pentingnya membangun hubungan yang sehat dan memperoleh kepuasan dari pencapaian pribadi yang tidak berkaitan dengan kekayaan materiil. Selain itu, pembentukan kebijakan yang mengarah pada distribusi kekayaan yang lebih adil dan pembangunan ekonomi yang inklusif juga dapat membantu mengurangi dorongan untuk melakukan flexing sebagai bentuk penunjukan status sosial.

Selain itu, penting untuk menekankan pentingnya merangkul keberagaman dan menghargai keberagaman dalam definisi keberhasilan dan kebahagiaan. Ini dapat dilakukan melalui dukungan terhadap inisiatif komunitas yang mempromosikan kesejahteraan mental dan emosional, serta pengakuan terhadap kontribusi sosial yang berharga yang tidak selalu diukur dengan jumlah harta yang dimiliki. Dalam hal ini, program-program pendidikan dan kesadaran masyarakat yang memperkuat nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan inklusivitas dapat membantu mengubah paradigma masyarakat dalam menilai keberhasilan dan kebahagiaan.

Pada akhirnya, perpanjangan kesadaran akan dampak negatif dari flexing dan thrifting adalah langkah pertama menuju penciptaan masyarakat yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Hal ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk mempromosikan nilai-nilai yang mendorong kebahagiaan yang berkelanjutan, bukan sekadar kepuasan jangka pendek yang didasarkan pada konsumsi dan pameran diri. Dengan upaya bersama, masyarakat dapat membangun masa depan yang lebih adil dan berdaya bagi semua orang. Selain itu, perlunya menciptakan kebijakan publik yang mendukung kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi juga tidak boleh diabaikan dalam upaya menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun