Mohon tunggu...
FPR Bulukumba
FPR Bulukumba Mohon Tunggu... -

Hentikan Perampasan Upah, Tanah dan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampanye Nasional FPR Bulukumba Memperingati Hari Tani Nasional Ke 54

22 September 2014   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:55 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Front Perjuangan Rakyat Bulukumba

Kampanye Nasional FPR Bulukumba memperingati Hari Tani Nasional Ke 54

“Perkuat Persatuan Rakyat Menuntut Pelaksanaan Land-Reform Dan Kedaulatan Sejati”

“Bentuk Kementerian Agraria Yang Berwenang Mengatur Masalah Pertanahan dan Menyelesaikan Sengketa Agraria”

“Keluarkan Seluruh Tanah Rakyat Yang Telah Diverifikasi Factual dari Obyek HGU PT. Lonsum, Tbk”

“Menolak Pengesahan RUU PILKADA dan Menolak Pembangunan Waterfront City”

Salam Demokrasi!

Demokrasi merupakan isu yang tidak pernah habis, selain itu demokrasi juga beririsan dengan masalah kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat di sebuah negara. Begitu juga dengan Indonesia yang sedang membangun demokrasi dan terus berupaya untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara adil dan merata. Dalam beberapa waktu ke belakang sudah banyak perkembangan dan isu menyangkut demokrasi yang menyita perhatian dan energi dari rakyat, terutama pemilu dan berbagai macam peristiwa sebelum dan sesudah pemilu, terutama bagaimana kemenangan Jokowi-JK harus melalui ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah pasangan Prabowo-Hatta menggugat kemenangan suara Jokowi-JK.

Dalam bulan ini paling tidak terdapat dua ruang untuk menunjukan eksistensi rakyat dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, yang pertama adalah momentum Hari Tani Nasional (HTN) tanggal 24 September 2014 dan yang kedua adalah RUU Pilkada yang rencananya akan disahkan pada tanggal 25 September 2014. Kedua ruang tersebut sangat penting dan memiliki kesalinghubungan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Hari Tani Nasional ke 54 merupakan momentum kampanye penting bagi kaum tani secara khusus dan rakyat Indonesia secara umum yang selama ini tidak lagi memiliki kedaulatan atas sumber-sumber agraria yang di dalamnya mencakup pertanian, sumber daya alam, kehutanan hingga perikanan dan kelautan.

Kaum tani bersama seluruh rakyat Indonesia menyambut Hari-Tani-Nasional yang ke-54 pada 24 September 2014. Hari Tani Nasional ini diperingati oleh kaum tani sebagai peringatan atas hasil perjuangan panjang kaum tani Indonesia dalam kerangka memperjuangkan Land-reform sejati di Indonesia. Perjuangan politik rakyat Indonesia yang berwatak anti-feodalisme dan imperialisme ini, pada tahun 1960 yang lalu berhasil diwujudkan secara terbatas dalam Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria No-5/1960. Capaian ini merupakan kemajuan sebagai usaha untuk meringankan penghisapan dan penindasan feudal yang dilakukan oleh tuan-tanah dan imperialis di atas pundak kaum tani Indonesia sejak jaman kolonialisme. Namun capaian politik dalam bentuk Undang-undang Pokok Agraria tersebut hanya berjalan kurang dari 5 tahun. Pada perkembangannya seluruh capaian politik dan hasil-hasil ekonomi telah dirampas kembali dari tangan kaum tani oleh musuh-musuh kaum tani, usaha keras dan panjang kaum tani yang telah mengorbankan jiwa dan raga, darah dan air mata, terus dihadang batu karang yang diciptakan oleh pemerintah-pemerintah yang berkuasa sejak jaman pemerintah fasis Soeharto hingga pemerintah SBY sekarang.

10 tahun dibawah Pemerintah SBY: Apa yang diperoleh Kaum Tani. ?

Menjelang berakhirnya pemerintah SBY pada tanggal 20 Oktober 2014, ada baiknya sejenak kita menengok apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah ini dalam rentang 10 tahun pemerintahannya (2004-2014), terutama di dalam sektor agraria (pertanian, sumber daya alam, kehutanan hingga perikanan dan kelautan) yang merupakan andalan kehidupan mayoritas Rakyat Indonesia, yaitu Kaum Tani Indonesia. Ini adalah saat yang tepat menilai apa yang dijanjikan oleh pemerintah ini dan apa yang dikerjakannya. Selama rezim SBY berkuasa selama 10 tahun menjanjikan akan menjalankan program pembaruan agraria (land reform), terutama di masa kampanye pilpres pada tahun 2004. Tentu saja janji dalam kampanye untuk menjalankan pembaruan agraria di dalam negeri agraris yang didominasi oleh kaum tani miskin yang merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu, akan memastikan kemenangan rezim ini di dalam pemilu. Terbukti kemudian, rezim SBY menang dalam Pemilu 2004 dan tahun 2009. Namun semua janji untuk menjalankan program pembaruan agraria (land reform) hanya tinggal janji. Hal mana terbukti dengan dikeluarkannya sejumlah kebijakan agrarian, pertanian dan wilayah pesisir yang justru bertentangan dengan janji-janji kampanye untuk menjalankan pembaruan agraria. Di sisi lain, pemerintah SBY juga menjalankan program-program liberalisasi pertanian yang pada pokoknya adalah memberikan akses lebih luas bagi produk-produk pertanian dari negeri-negeri maju untuk masuk ke dalam pasar pertanian di Indonesia.

Beberapa kebijakan agraria dan pertanian pemerintahan SBY yang dapat dicatat, bertolak belakang dari janji kampanye untuk menjalankan program pembaruan agraria diantaranya adalah Program Infrastructure Summit (bulan Januari tahun 2005), Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan atau RPPK (pada tahun 2005), yang dicanangkan di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN (pada tahun 2006), Program Food Estate (pada tahun 2009), dan yang terakhir adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI (yang diluncurkan pada tahun 2011, dan akan dijalankan dalam periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2025).

Program Land-reform pemerintah baru Jokowi-JK: Apakah Land-Reform kelanjutan pemerintah SBY atau Land-reform Sejati Aspirasi Rakyat Indonesia?

Program Land-reform yang tertuang dalam visi-misi Jokowi-JK  selama masa kampanye, di satu sisi perlu mendapat apresiasi dan menjadi harapan kaum tani dan rakyat Indonesia; namun di sisi lain program tersebut akan menjadi bumerang jika nasibnya sama dengan program Land-reform palsu pemerintah SBY. Kekecewaan dan kemarahan kaum tani dan rakyat Indonesia akan sulit dihindari jika pemerintahan Jokowi-JK ke depan tidak menyelesaikan ribuan kasus perampasan tanah yang menderitakan kaum tani dan hanya memberi Land-reform palsu seperti pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jokowi-JK sebagai pasangan terpilih pemilu presiden 2014 harus mengambil pelajaran berharga atas kegagalan total program land-reform palsu (PPAN) pemerintah SBY.

Program land-reform Jokowi-JK yang tertuang dalam Visi-Misi pada masa kampanye, belum menunjukkan perbedaan mendasar, bahkan memiliki kesamaan dengan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) pemerintah SBY yang telah terbukti gagal total, seperti kebijakan membagi tanah 8,15 juta hektar. Satu sisi kita patut memuji keinginan pemerintah JKW-JK menjalankan program Land-reform dengan membagi tanah seluas 9 juta hektar, meningkatkan akses kepemilikan tanah petani gurem dari 0,3 ha menjadi 2 ha per KK tani sebagaimana amanat UUPA, dan pembukaan 1 juta hektar pertanian lahan kering diluar Jawa-Bali. Namun program ini akan sia-sia bila tidak diiringi tekad yang kuat untuk menghentikan atau mengurangi perampasan tanah yang massif selama periode Pemerintah SBY dan masih berjalan hingga sekarang; maupun menyelesaikan kasus perampasan tanah (sengketa agraria) yang telah menimbulkan korban jiwa, kekerasan dan penderitaan bagi kaum tani sebagai mayoritas rakyat Indonesia. Liberalisasi sumber daya alam membuat kesengsaraan yang luas bagi kaum tani di pedesaan dan nelayan di wilayah pesisir serta rakyat pada umumnya, ini disebabkan oleh adanya ekspansi modal raksasa yang menyingkirkan mereka dari tanah dan tempat yang selama ini menjadi sumber kehidupan. Akibatnya adalah besarnya konflik agraria dipedesaan yang melibatkan kaum tani melawan perkebunan besar, pertambangan bahkan perusahaan swasta.dan konflik wilayah pesisir di Indonesia yang melibatkan nelayan melawan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan wilayah pesisir dalam bentuk reklamasi pantai.

Konflik Agraria di Kabupaten Bulukumba

PT. Lonsum Tbk saat ini menguasai lahan seluas 5.784,54 Ha, penguasaan dan monopoli lahan ini dilakukan dengan cara merampas tanah milik masyarakat (wilayah adat kajang dan petani) seluas 2.183,40 Ha dan tanah masyarakat adat jawi-jawi (Bulukumpa Toa) seluas 254,45 Ha sehingga melahirkan konflik agraria yang berkepanjangan. Sementara penguasaan dan monopoli lahan yang dilakukan oleh PT. Lonsum Tbk saat ini semata mata dimaksudkan untuk mengeruk bahan mentah dan hasil produksinya berorientasi ekspor tapi bukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat Bulukumba, melainkan untuk kepentingan pasar internasional yang telah dikuasai oleh imperialis. Sedangkan nasib masyarakat (kaum tani dan kaum adat) sendiri terampas dan terusir dari tanah airnya tanpa perlindungan, semakin miskin dan tertindas sebagai buruh-tani, buruh-kebun, menjadi kuli di negeri sendiri yang subur dan kaya-raya ini, bahkan menjadi kuli di negeri orang , mereka seperti layaknya barang dagangan, menjadi komoditas ekspor buruh murah yang tak ada bedanya dengan perbudakan modern. Kehancuran ekonomi di pedesaan dan tidak dibangunnya industri nasional menyebabkan kemiskinan akibat ketiadaan lahan kelolah untuk memenuhi kebutuhan sehari hari masyarakat Bulukumba.Sementarapemerintah Kabupaten Bulukumba tidak pernah sungguh-sungguh mengurus persoalan rakyat Bulukumba, akan tetapi lebih banyak mengurus persoalan pribadi dan klik kekuasaannya. Salah satu bentuk ketidak seriusannya adalah tidak adaknya kejelasan penyelesaian sengketa agraria antara Rakyat (masyarakat adat, petani) dan PT. Lonsum Tbk.

Konflik Wilayah Pesisir di Kabupaten Bulukumba

Rencana pembangunan Proyek Waterfront City oleh pemerintah Kab. Bulukumba justru merupakan pemicu awal terjadinya konflik agraria (perikanan dan kelautan) wilayah pesisir yang melibatkan Rakyat Bulukumba (nelayan tradisional dan petani rumput laut) melawan kebijakan pemerintah Kab. Bulukumba dalam pengelolaan wilayah pesisir dalam bentuk reklamasi pantai, proyek ini justru akan merampas hak kelolah dan mata pencaharian nelayan dan petani rumput laut. Pada dasarnya, pembangunan proyek Waterfront City atau rencana pembangunan kawasan pesisir pantai merpati dan pantai situbaru di Kabupaten Bulukumba saat ini merupakan proyek yang hanya akan menguntungkan korporasi dan mengorbankan kepentingan rakyat (nelayan dan petani rumput laut) dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup. Skema yang digunakan pada umumnya adalah reklamasi pantai dan laut. Sebagai contoh, pembangunan kawasan pesisir Makassar (losari), rencana reklamasi teluk benoa di bali, dan reklamasi teluk palu di Sulawesi Tengah. Jika diperhatikan dengan baik, skema reklamasi ini menggunakan label jualan yang berbeda-beda, seperti revitalisasi kawasan pesisir, normalisasi kawasan pesisir, dan pengembangan wilayah kota. Namun, hakikatnya adalah pengembangan bisnis di kawasan pesisir melalui penimbunan laut. Sehingga proyek ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan reklamasi laut yang ada di daerah lain seperti yang disebutkan diatas. Proyek ini dijalankan dengan dalih pengembangan wilayah kota modern untuk perumahan, perkantoran, dan kawasan bisnis di Kab. Bulukumba dan ada sekitar 500 KK petani rumput laut yang akan kehilangan mata pencaharian (terdampak langsung) apabila pembangunan Waterfront City dilanjutkan, ini belum termasuk nelayan tradisional.

Selain konflik agraria dan wilayah pesisir diatas, rakyat bulukumba juga menghadapi ancaman dengan keberadaan RUU Pilkada yang saat ini sedang diajukan di parlemen. RUU Pilkada akan mengembalikan pemilihan dan penetapan kepala daerah kembali ke tangan anggota DPRD, dengan alasan terlalu memboroskan anggaran daerah, selain itu demokrasi sekarang juga dianggap terlalu liberal. Kemunculan RUU Pilkada justru merupakan ancaman bagi demokrasi Indonesia, dengan menyerang pemilihan langsung yang merupakan dasar utama dari kesadaran politik rakyat yang sedang dibangun dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Mengembalikan pemilihan dan penetapan kepala daerah kembali kepada DPRD merupakan langkah mundur dan memberikan ruang terbuka bagi menguatnya kembali oligarkhi kekuasaan atas dasar kesepakatan antar partai politik. Hal tersebut tentu akan kembali mengkebiri hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Partisipasi rakyat jauh lebih penting dari sekedar perhitungan biaya, apalagi selama ini pemilukada memakan anggaran kurang dari satu (1) persen dari APBD di masing-masing daerah. Selain itu alasan bahwa demokrasi saat ini sudah terlalu liberal sama sekali tidak kuat jika disandingkan dengan kenyataan bahwa rakyat Indonesia memiliki pengalaman buruk selama 32 tahun hidup dalam oligarkhi kekuasaan orde baru yang salah satu cirinya justru mirip dengan isi RUU Pilkada ini, terutama dalam pemilihan dan penetapan eksekutif yang dilakukan oleh parlemen. Kebebasan rakyat dalam pemilihan langsung saat ini bukan sebuah capaian yang mudah bahkan membutuhkan perjuangan panjang yang berpuncak pada perjuangan demokratis 1998, yang tentu sangat ironis jika kembali lagi ke sistem dan gaya lama.

Sudah tentu demokrasi di Indonesia tidak akan tercapai tanpa melibatkan seluruh rakyat, terutama kaum tani dan nelayan yang merupakan jumlah terbesar di Indonesia. Keadilan demokratis bagi rakyat tentu merupakan tuntutan mutlak dengan mensyaratkan kedaulatan kaum tani dan rakyat Indonesia atas tanah dan kehidupan diatasnya. Jika tidak, maka demokrasi di Indonesia akan berjalan dengan landasan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat seperti yang selama ini masih menjadi salah satu problem besar demokrasi di Indonesia. Untuk itu, momentum Hari Tani Nasional ke 54 tahun 2014 menjadi sangat penting untuk mengingatkan pemerintahan Kab. Bulukumba, bahwa demokrasi tidaklah menghasilkan apapun jika rakyat tidak lagi memiliki kedaulatan atas sumber-sumber agraria yang meliputi (pertanian, sumber daya alam, kehutanan hingga perikanan dan kelautan). Sehingga perjuangan hak-hak demokratis rakyat menjadi perhatian bagi kami Front Perjuangan Rakyat Bulukumba (FPR Bulukumba) dan secara serentak dengan suara dan sikap yang sama kami, Menuntut:

1.Laksanakan Program Land-reform:

a.Hentikan perampasan dan monopoli tanah bagi perkebunan besar, taman nasional, pertambangan dan          infrastruktur.

b.agikan tanah untuk buruh tani dan tani miskin.

c.Naikkan upah buruh-tani.

d.Turunkan riba hutang bagi modal usaha tani.

e.Turunkan harga-harga sarana produksi pertanian: bibit, pupuk, dan obat-obatan.

f.Bangun dan perbaiki irigasi yang rusak.

g.Bangun Industri Nasional untuk menyediakan teknologi pertanian.

h.Naikkan harga hasil produk pertanian.

i.Batalkan seluruh perjanjian liberalisasi sektor pertanian yang telah terbukti merugikan kaum tani Indonesia.

2.Selesaikan seluruh konflik agraria antara Masyarakat Bulukumba vs PT. Lonsum. Tbk.

3.Keluarkan seluruh tanah rakyat yang telah diverifikasi lapangan dari obyek HGU PT. Lonsum, Tbk.

4. Hentikan pembangunan Proyek Waterfront City.

5.Hentikan kriminalisasi dan tindak kekerasan terhadap rakyat.

6.Hentikan pemberangusan serikat dan pelarangan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi seluruh rakyat Indonesia.

7.Bentuk Kementerian Agraria yang berwenang mengatur masalah pertanahan, menyelesaikan sengketa agraria dan menjalankan program Landreform sejati.

8.Menuntut DPRD Bulukumba untuk membentuk Komisi Bidang Pertanahan dan Sumber Kekayaan Alam yang mengontrol pelaksanaan program Landreform.

9. Tolak pengesahan RUU Pilkada Tidak Langsung karena akan merampas kedaulatan suara rakyat.

10.Tolak rencana kenaikan harga BBM serta tolak pencabutan subsidi energi dan kenaikan Tarif Dasar Listrik serta Gas-Elpiji.

11.Tarik seluruh anggota brimob dari PT. Lonsum, Tbk.

TANAH UNTUK RAKYAT!!

TAK ADA DEMOKRASI TANPA LAND-REFORM!!

Bulukumba , 22 September 2014

Front Perjuangan Rakyat Bulukumba

FPR Bulukumba

Muh. Syahrir

Koordintor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun