Dari Forum Belajar menjadi Forum Pengada Layanan, dengan tujuan terpenuhinya hak korban melalui pelaksanaan tanggung jawab negara dan terwujudnya lingkungan yang mendukung pemberdayaan dan keadilan bagi perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender.
Sebagaimana ditegaskan oleh Susi Handayani, Direktur Yayasan PUPA Bengkulu yang juga menjadi salah satu Dewan Pengarah Nasional FPL, bahwa FPL harus menegaskan perannya sebagai pemberi layanan yang dibutuhkan oleh korban, sehingga perlu proses belajar, berefleksi dan memperbaiki terus kapasitas lembaga dan profesionalitas kerjanya sebagai pengada layanan.
FPL hingga 2015 ini menjadi wadah bagi 122 lembaga pengada layanan pendampingan hukum, psikologis, ekonomi, pemberdayaan dan sosial (crisis center) yang tersebar di 32 propinsi. Pada kenyataannya, banyaknya lembaga pengada layanan ini belum bisa menjangkau banyak korban kekerasan berbasis gender. Apalagi lembaga layanan yang disediakan oleh pemerintah, di tingkat propinsi atau kabupaten/kota masih banyak kelemahannya di sumberdaya dan pemahaman, bahkan ada yang tidak aktif. Hal ini menyebabkan lembaga pengada layanan yang diinisiasi masyarakat dan menjadi anggota FPL menjadi tumpuan harapan dari korban untuk membantu mereka menyelesaikan kekerasan sekaligus mendapatkan pemulihan.
Hal yang berat bagi anggota FPL ketika tidak ada atau masih sedikit dukungan yang diberikan pemerintah kepada mereka, termasuk dengan minimnya ahli seperti psikolog, pendamping, pengacara, maupun layanan pemerintah terbatas dan sulit diakses seperti rumah aman dan layanan kesehatan gratis. Hal ini berarti, disamping mendampingi korban maupun keluarganya, lembaga pengada layanan juga perlu melakukan advokasi ke pemerintah maupun DPRD guna memastikan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak korban benar-benar dilaksanakan.
Samsidar, Dewan Pengarah Nasional FPL menambahkan, dalam perjalanan FPL hampir 3 tahun dalam pengadaan layanan bagi korban kekerasan, masih banyak kendala yang dihadapi, baik dari internal FPL sendiri maupun dari luar FPL. Sumberdaya yang tidak merata karena factor geografis dan prioritas pengembangan wilayah di Indonesia, beban kerja pendampingan yang  tidak sebanding dengan jumlah SDM dan finansial dan keberlanjutan lembaga dalam hal ini regenerasi yang tidak dipersiapkan secara terencana di setiap lembaga anggota FPL, merupakan beberapa kendala yang bisa diidentifikasi. Sehingga, perlu terus dilakukan konsolidasi, berbagi sumberdaya, memperluas teman yang menjadi sahabat para penyintas, bekerja secara professional dan melebarkan jejaring layanan berbasis masyarakat lintas sector, serta menyinergikan semuanya dengan kebijakan dan program pemerintah desa dalam rangka mengoptimalkan peran aparat dan kelembagaan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat akar rumput.
Forum Pengada Layanan, Penumbuh Harapan Bagi Korban Kekerasan Gender
Sebagai wadah berkumpulnya lembaga-lembaga pengada layanan dari 32 propinsi, dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan yakni Januari hingga Maret 2016, FPL telah menerima pelaporan dan menangani sekitar 938 kasus kekerasan terhadap perempuan, dimana 45.7% dari jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Dan kekerasan seksual di ranah personal/rumah tangga (incest) menjadi perhatian serius seperti di Nusa Tenggara Timur dan daerah lain. Situasi khusus seperti inilah yang saat ini upaya penanganannya (keamanan, keadilan dan pemulihan) tidak terjawab dengan system hukum sekarang ini. Karena banyak kasus incest dimana pelakunya umumnya orang tua atau anggota keluarga lain tidak terlaporkan dan korban tidak mendapatkan haknya atas keadilan, kebenaran, keamanan dan pemulihan.
FPL, Mendorong Tanggungjawab Negara
Dengan situasi seperti disebut di atas, mendorong tanggung jawab negara dalam pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan berbasis gender menjadi penting dilakukan. Antara lain melalui revitalisasi dan mengembalikan peran dan fungsi koordinasi P2TP2A dalam pencegahan, penanganan dan pemberdayaan perempuan dan anak , menguatkan mekanisme HAM perempuan dan mengembangkan pendidikan publik secara luas yang melahirkan kesadaran, empati, dan kritis pada kekerasan terhadap perempuan berbasis gender.
Kedepannya, FPL tetap secara otonom menjalankan layanan dan berjejaring dengan lembaga layanan pemerintah serta mendorong adanya standar layanan yang berpihak pada hak-hak korban.
Dan keseriusan pemerintah dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sudah menjadi komitmen internasional pemerintah Indonesia benar-benar diharapkan.