(Mungkin) barulah banyak yang menoleh...
Lagi-lagi ada yang (seperti) numpang tenar sama Si TITI ya, yaitu saya! Hehehe... egepe, wong yang jadi bahan gemrengengan saya disini bukan soal TITI, tapi orangutan!
“Terjewer” tanggapan Pak Ajinatha atas sebuah komentar tentang klik view yang tidak menyundul sampai 20 saja (pada saat itu), karena tema tulisannya yang nggak populer banget gitu looh..., yaitu Green. Diakui atau tidak, kanal Green merupakan satu diantara kanal-kanal yang paling tidak “menjual” di sini. Maka, jika menulis di sini dengan niat mencari “keramaian”, maaf, mungkin Green bukan tempat yang tepat, kecuali jika idealisme dan sedikit harapan yang diusung.
Eh, tapi berkaitan dengan judul di atas, memang ada pengaruhnya ya antara jumlah klik dengan kelangsungan hidup orangutan? Mungkin ada yang belum tahu, atau justru tidak minat tahu, jika baru-baru ini ada berita orangutan menjadi bahan buruan dan dibantai dengan cara yang sangat sadis, karena dianggap sebagai HAMA yang merusak perkebunan sawit, tepatnya di Desa Puan Cepak Muara Kaman, Kukar. Berita selengkapnya bisa anda telusuri di sini. Nyatanya, topik ini sepi di sini, dimana diam-diam saya berharap semoga bukan karena ketidakpedulian kita.
Sedikit ringkasan ini mungkin bisa sedikit membangunkan kita.
“Dari sebanyak 3.305 spesies amfibi, burung, mamalia, dan reptil yang diketahui di Indonesia, sebesar 31,1 persen masih ada dan 9,9 persen terancam. Indonesia merupakan rumah bagi setidaknya 29.375 spesies tumbuhan vaskular, yang 59,6 persennya masih ada”.
“Saat ini, hanya kurang dari separuh Indonesia yang memiliki hutan, merepresentasikan penurunan signifikan dari luasnya hutan pada awalnya. Antara 1990 dan 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan”
“Jumlah hutan-hutan di Indonesia sekarang ini makin turun dan banyak dihancurkan berkat penebangan hutan, penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar”.
Dan ironisnya, “Indonesia adalah eksportir kayu tropis terbesar di dunia, menghasilkan hingga 5 milyar USD setiap tahunnya, dan lebih dari 48 juta hektar (55 persen dari sisa hutan di negara tersebut) diperbolehkan untuk ditebang”. (Sumber dari sini)
Kenapa ironis? Ada eksportir tentu ada importirnya. Pada saat “negara-negara tuan besar” paling lantang berteriak “save the earth!”, mereka sebenarnya juga memiliki andil yang besar atas kerusakan yang terjadi (dengan menjadi konsumen utama), sementara ekosistem yang tergadai umumnya terkonsentrasi pada negara-negara yang menjadi ladang industri bagi negara bosnya.
Saya tidak akan berbuih-buih berkhotbah tentang pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam, pentingnya menjaga kelangsungan hidup dan keanekaragaman hayati, dan kenyataan bahwa jumlah hutan kita yang terbabat secara ilegal karena tindihan kapitalisme adalah sekian-sekian. Bahwa hutan kita adalah satu bagian besar yang penting dari paru-paru dunia, sehingga kerusakan hutan Indonesia menyumbang dampak yang tidak sedikit pada perubahan iklim dunia. Sudah banyak sekali artikel yang menuliskannya dengan data-data yang membuat sesak dada!
Kolonialisme dan pemerkosaan kita atas lahan yang mestinya kita bagi dengan “penduduk lain” di bumi ini, membuat saya bertanya-tanya, “Masih jugakah menyalahkan harimau Sumatra yang bersarang di dekat pemukiman warga? Masih jugakah menyalahkan gajah di Lampung yang merangsek areal pertanian warga, sehingga mereka dianggap hama? Masih jugakah menyalahkan orangutan karena merusak perkebunan sawit milik orang jiran, sehingga mereka dianggap hama?”
#Image dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H