Mohon tunggu...
Fouree Aj
Fouree Aj Mohon Tunggu... -

Emak-emak biasaaaa ....

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Haji, Antara Rasa Ketakutan “Ditabok”, Ritual Fisik dan Ritual Kalbu

10 November 2011   08:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika melepas kepergian keluarga maupun rekan-rekan yang berangkat menunaikan ibadah haji, selalu saja saya merasakan keharuan yang sangat, mengharapkan beliau-beliau diberikan kelancaran ibadah dan pulang haji dalam keadaan mabrur, sambil (malu-malu tahu diri) berharap menghiba “Ya Allah semoga Engkau juga berkenan segera memanggilku kesana”.

Tidak semua muslim beruntung diberkahi kesempatan menunaikan ibadah haji. (Hampir) semua muslim tahu bahwa ibadah haji wajib dilaksanakan oleh muslim yang mampu, baik secara finansial maupun fisik. Namun meskipun telah memiliki keduanya, tidak semua muslim dapat segera memperoleh timing melaksanakannya, misalnya karena sistem antrian yang panjang. Pun kadang belum terketuk dan tergerak untuk menegakkannya, misalnya karena sudah phobia duluan mengingat dosa-dosanya di masa lalu. Takut di tanah suci nanti mendapatkan pembalasan “kontan”. Takut di sana tersesat lah. Takut di sana ditabok jin lah. Heleh, kebanyakan denger cerita “katanya katanya” dan nonton sinetron Adzab Ilahi nih.

Haduh sayang sekali. Kalau sudah su’udzan duluan, ya bisa saja Dia beneran menuruti prasangka hambaNya. Orang kita di sana itu tamu Allah, ya berbaik sangka lah, karena Allah itu Maha Baik. Perkara di sana ternyata kita mendapatkan “jeweran”, “tabokan”, bahkan adzab (naudzubillah mindzalik... semoga Allah mengampuni), ya sudah. Mungkin itu lebih baik karena “hutang” kita bisa terbayarkan di dunia.

Bagi saya, tentu malah lebih sedih jika di sana “dicuekin”. Meski sedang melaksanakan ibadah, hati tidak tergetar sedikitpun. Sekedar ritual fisik. Tidak ada kesan sesuatupun yang membekas di kalbu. Garing. Malah ribut melulu soal fasilitasi akomodasi. Sampai di tanah air tidak juga membuat perilaku diri menjadi lebih baik, malah menjadi-jadi slebornya. Eh tapi kenapa kok aman-aman saja. Itu namanya dicuekiiiiiin....

Mencoba bermuhasabah, mungkin kelakuan kita memang amit-amit selama ini. Sering dzalim sama hak orang. Ribut kesalehan ritual namun abai kesalehan sosial. Berlomba-lomba mempermegah bangunan masjid namun kosong ruhnya, sementara di sekeliling kita masih buanyaak yang susah sekadar beli beras sekilo. Atau karena uang yang dipakai berhaji uang “panas”. Atau karena niat kita yang harus dipertanyakan. Berhaji untuk apa?

Ya iyalah, suka-suka orang yang melaksanakannya dong... Mau karena ingin mendapat rahmahNya, atau karena ingin mendongkrak status sosial, sehingga ngamuk-ngamuk kalau tidak disapa dengan sebutan Pak Haji Bu Hajjah, apa urusan ente? Dalamnya hati siapa yang tahu, selain sang empunya dan Yang Membuatnya. Hidup memang pilihan kok....

* Image dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun