Mohon tunggu...
Baret Mega Lanang
Baret Mega Lanang Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Bagai Empu Prapanca yang menulis Negarakertagama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Terjebak Iming-Iming Pahala

19 Juli 2024   03:12 Diperbarui: 19 Juli 2024   03:17 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar Freepik (BRT)

Pahala sering dianggap sebagai sesuatu yang abstrak dan hanya berkaitan dengan kehidupan akhirat.

Pertanyaan ini sangat relevan karena banyak di antara kita yang masih memiliki bayangan yang tidak jelas tentang pahala. Pahala sering kali dianggap sebagai balasan yang hanya akan diberikan di akhirat kepada orang-orang yang melakukan kebajikan. Lebih jauh lagi, banyak yang mengejar pahala dengan cara instan, tanpa memahami hakikat sebenarnya dari pahala itu sendiri. Misalnya, saat membaca Alquran di bulan Ramadhan, orang sering kali berorientasi pada jumlah huruf yang dibaca, dengan harapan mendapatkan pahala yang banyak. Orientasi yang sama juga terjadi dalam ibadah lainnya seperti shalat, puasa, dan sedekah.

Mari kita eksplorasi lebih jauh definisi dan konsep pahala dalam Alquran. Kata "pahala" dalam Alquran sering kali menggunakan istilah "ajrun" atau "al-ajr" yang bisa dimaknai sebagai upah atau balasan kebaikan. Istilah ini muncul dalam berbagai ayat dengan nuansa yang berbeda-beda. 

Misalnya, dalam surat Al-A'raf ayat 113, para ahli sihir bertanya kepada Firaun apakah mereka akan mendapatkan upah jika mereka menang melawan Musa. Di sini, upah yang dimaksud adalah bersifat duniawi, yakni balasan dari Firaun. Ini menunjukkan bahwa pahala tidak selalu bersifat ukhrawi, tetapi bisa juga duniawi.

Selanjutnya, dalam surat Al-An'am ayat 90, para nabi yang menyampaikan risalah Allah kepada manusia tidak meminta upah dari manusia. Upah mereka adalah dari Allah yang mengutus mereka. Di sini, upah bisa dimaknai sebagai balasan dari Allah, yang bisa bersifat duniawi atau ukhrawi.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 245, Allah menggunakan istilah al-ajr untuk menggambarkan balasan kepada orang yang menafkahkan harta bendanya di jalan Allah. Balasan ini bisa bersifat duniawi, berupa rezeki yang dilipatgandakan, dan ukhrawi, berupa pahala di akhirat.

Begitu pula dalam surat Ali Imran ayat 136, balasan berupa surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai adalah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal shaleh. Ini menunjukkan bahwa pahala bisa bersifat ukhrawi, berupa surga dan kenikmatannya.

Namun, pahala tidak selalu bersifat abstrak. Pahala bisa berupa balasan duniawi yang nyata. Misalnya, dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah bersabda, "Sumu tasihhu" (berpuasalah, maka kalian akan sehat). Ini adalah pahala berpuasa yang nyata dalam bentuk kesehatan fisik. Sistem pencernaan, hormonal, organ tubuh, dan sistem saraf kita akan menjadi lebih sehat. Bahkan, pada tingkat seluler, terjadi mekanisme autoimun yang membersihkan sampah-sampah metabolisme.

Selain itu, pahala juga bisa bersifat kejiwaan. Orang yang berpuasa dengan baik akan mencapai derajat ketaqwaan, memiliki kecerdasan emosi dan spiritual yang lebih baik, serta mampu mengontrol emosi. Ini adalah pahala dalam bentuk kualitas kejiwaan yang berperan penting dalam kesuksesan kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam surat Ar-Rahman ayat 60, Allah berfirman, "Hal jazaul ihsan illa al-ihsan?" (tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula). Ini menegaskan bahwa pahala adalah konsekuensi logis dari kebajikan yang kita lakukan. Ketika kita berbuat kebaikan, alam semesta dan sistem sosial, bahkan Allah dan para malaikat, akan memberikan balasan kebajikan juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun