Mohon tunggu...
Baret Mega Lanang
Baret Mega Lanang Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Bagai Empu Prapanca yang menulis Negarakertagama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

INI DIA | Pujangga Terakhir Tanah Jawa

14 Juli 2024   01:47 Diperbarui: 14 Juli 2024   02:08 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Raden Ronggowarsito: Pujangga Jawa yang Menyingkap Zaman Edan.

BRT | JOMBANG - Raden Ronggowarsito dikenal sebagai pujangga Jawa yang produktif dan memiliki kebatinan yang mendalam. Ia adalah sosok yang identik dengan sebuah zaman yang disebut "edan" atau "gemblung," sebuah istilah yang diangkat dalam karya seratnya yang terkenal, yaitu *Serat Kolotido*. Sebagai seorang pujangga yang banyak melahirkan karya-karya dengan rasa kebatinan yang mendalam, Ronggowarsito bukanlah orang sembarangan. Kemampuannya untuk meramalkan masa depan, atau yang disebut "weruh sakdurunge winarah," membuatnya semakin istimewa.

Bahkan kematiannya pun menjadi misteri besar, karena ia ibarat berpamitan dan menuliskan sendiri waktu wafatnya dengan tepat dalam *Serat Sabdo Jati*. Ronggowarsito, yang memiliki nama asli Bagus Burhan, lahir di Kampung Yosodipuran, Surakarta pada Senin, 15 Maret 1802. Ia merupakan putra pasangan Surodimejo dan Nyai Ageng Pajang Suro, dan lahir semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. Dari garis keturunan ayahnya, Ronggowarsito masih memiliki darah keturunan Raja Majapahit terakhir.

Silsilahnya menunjukkan garis keturunan yang panjang dari Raja Majapahit terakhir hingga kakeknya, Yosodipuro, yang juga seorang pujangga besar. Pada usia empat tahun, Bagus Burhan diasuh oleh kakeknya, Yosodipuro. Namun, kenakalan Burhan membuat pengasuhannya berpindah ke Tanujoyo. Selama delapan tahun di bawah asuhan Tanujoyo, Burhan menunjukkan kenakalannya, termasuk berjudi. Suatu hari, seorang abdi dalem melaporkan kepada Tanujoyo bahwa Burhan telah menjual kuda untuk berjudi. Hal ini membuat Tanujoyo marah dan memutuskan untuk mengirim Burhan ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo, di bawah asuhan Kyai Kasan Besari. Awalnya, Burhan tidak menunjukkan prestasi akademik yang baik di pondok pesantren. Ia malas belajar dan kenakalannya mempengaruhi teman-temannya. Kyai Besari akhirnya mengusir Burhan karena ulahnya yang mengganggu ketertiban. 

Namun, setelah mendapat nasihat dan menjalani tirakat selama 40 hari di Kedung Waduk, Burhan mengalami perubahan besar dalam dirinya. Ia menjadi lebih bijaksana dan mulai menonjol di antara santri lainnya. Perjalanan spiritual Burhan membawanya untuk berguru kepada banyak tokoh, termasuk Pangeran Wijil, Kyai Tunggulwulung, dan hingga ke Bali. Ia menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan naskah-naskah kuno seperti Ramayana dan Bimasuci. Pada 28 Oktober 1818, Burhan diangkat sebagai carik di Kadipaten Anom dengan gelar Ronggo Pujongo Anom. Kemudian, ia menjadi Abdi Dalem Kepatihan dengan gelar Mas Ngabehi Sorotokoh. Pada tahun 1822, Burhan menikah dengan Raden Ajeng Kumba, putri Adipati Cakraningrat dari Kediri. Setelah istrinya meninggal, ia menikah lagi dengan Mas Ajeng Pujo Dewoto dan Mas Ajeng Dewoto.

 Ronggowarsito banyak bergaul dengan para pegawai Belanda dan peneliti kebudayaan. Ia membantu mereka menerjemahkan naskah-naskah kuno dan sering berdiskusi tentang kesusastraan Jawa. Tawaran untuk mengajar di Belanda dengan gaji besar ditolaknya karena loyalitasnya kepada Kasunanan Surakarta. Dalam bidang jurnalistik, Ronggowarsito dikenal baik oleh para akademisi Belanda. Namun, dalam dunia politik, ia dicurigai oleh militer Belanda setelah Perang Diponegoro. Ayahnya disiksa sampai wafat karena tidak membocorkan hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Pakubuwono VI. Meski demikian, Ronggowarsito tetap produktif menulis sekitar 60 karya selama hidupnya, termasuk Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pamoring Kawulo Gusti, Suluk Sukmo Lelono, Serat Paniti Sastra, dan Serat Sabdo Jati.

Ronggowarsito meninggal secara misterius pada 24 Desember 1873 setelah menuliskan waktu kematiannya sendiri dalam Serat Sabdo Jati. Kematian ini menimbulkan kontroversi, meskipun pihak Kraton menolak anggapan bahwa ia dihukum mati. Ronggowarsito dimakamkan di Klaten, Jawa Tengah, dan makamnya tidak pernah sepi dari pengunjung hingga kini. Patungnya dipajang di Museum Radyapustaka dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1953, menandai penghormatan terhadap pujangga besar yang mampu melihat masa depan dengan kebatinannya. 

Penulis: Baret Mega Lanang. / Artikel ini Juga tayang Di Hariansiber.com

 Sumber referensi : Buku "Raden Ngabehi Ronggowarsito: Apa yang Terjadi?" dan "Ronggowarsito - Paramayoga" oleh Pramayoga Ronggowarsito, Penerbit Narasi, ISBN: 9789791685160, Terbit 19 Desember 2017, 154 halaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun