Pertama-tama, saya mengucapkan selamat kepada pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kesehatan, yang akhirnya mempublikasikan hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Riset ini, menurut pandangan saya, merupakan upaya herculean dari Kementerian Kesehatan untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah mengenai status derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Untuk Riskesdas 2010, survey dilakukan terhadap sebanyak 69.300 rumah tangga yang disample dari 440 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, hampir pada sepertiganya juga dikerjakan pemeriksaan laboratorium dahak dan darah. Sekilas riset ini mengingatkan saya kepada National Health and Nutrition Examination Survey dan Behavioral Risk Factor Surveillance di Amerika. Tidak dapat dipungkiri, riset skala besar seperti ini akan menghasilkan informasi yang luar biasa banyak dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Riskesdas 2010 ini sendiri ditujukan untuk mengevaluasi pencapaian Millenium Development Goals di bidang kesehatan (MDG 4, 5 dan 6), tentunya dengan harapan agar hasil riset dapat mengarahkan pemerintah untuk menempatkan sumber daya di tempat-tempat di mana tujuan MDG paling jauh dari harapan. Namun apakah hasil Riskedas ini dapat memenuhi harapan tersebut? Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan kritik (semi) ilmiah terhadap laporan Riskesdas 2010. Perlu saya tulis bahwa kritik ini adalah (semi) ilmiah karena, pertama, Kompasiana pada dasarnya adalah sebuah blog yang tidak menuntut sebuah tulisan mempunyai dasar ilmiah dan, kedua, karena tulisan saya sedikit banyak memiliki dasar ilmiah. Kritik saya pada dasarnya adalah Riskesdas 2010 tidak mengukur indikator-indikator MDG 4, 5 atau 6 yang paling penting, yaitu angka kematian ibu, angka kematian anak (bayi dan di bawah 5 tahun), serta prevalensi HIV/AIDS. Riskesdas 2010 bisa membantu kita mengerti kemajuan pencapaian MDG jika indikator-indikator tersebut tidak diukur? Kritik saya yang kedua, nampaknya Kementerian Kesehatan menjustifikasi absennya pengukuran tersebut oleh sebab "besar sampel yang tidak memadai dan cara pengumpulan/pengukuran/pemeriksaan yang tidak dapat dilaksanakan dalam survai kesehatan rumah tangga" (hal. 15). Tentu saja ini tidak benar (satu hal yang pasti, jumlah 69.300 sampel tidak bisa disebut "tidak memadai"). Ketiga indikator yang saya sebutkan di atas sangat bisa diukur melalui survey rumah tangga. Demographic Health Survey adalah salah satu survey yang melakukan ketiga pengukuran tersebut di saat yang bersamaan. Ketiga, kritik saya yang paling pedas, kelihatannya Kementerian Kesehatan tidak sepenuhnya mengerti data apa yang mereka ambil pada Riskesdas 2010. Melanjutkan pernyataan di halaman 15 laporan Riskesdas, Kementerian Kesehatan menyebutkan beberapa indikator yang "tidak dapat dikumpulkan" karena alasan yang sama dan salah satunya adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Ironisnya, sebenarnya data yang dapat memberikan informasi tersebut dikumpulkan pada Riskesdas 2010 dan dicantumkan pada tabel 3.3.18 (hal. 194). Menggunakan metode yang dikembangkan oleh Brass, angka kematian bayi dapat diperkirakan dari persentase anak yang masih hidup yang ditanyakan kepada responden perempuan pada usia reproduktif (=rata-rata anak masih hidup/rata-rata anak lahir hidup). Memasukkan angka-angka tersebut dari tabel 3.3.18 ke dalam software yang banyak digunakan ahli demografi (dalam hal ini Mortpak 4), berikut Angka Kematian Bayi yang saya peroleh: Waktu referensi         AKB Sep 2007                  < .013 Dec 2005                      .025 Apr 2004                     .029 Oct 2002                       .031 May 2001                     .034 Oct 1999                       .041 Mar 1997                      .058 Tentunya ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan angka-angka di atas dan interpretasi tersebut bukan menjadi fokus tulisan saya. Pada dasarnya, saya ingin menyampaikan kritik kepada Kementerian Kesehatan untuk lebih berhati-hati dalam melakukan penelitian. Pertama, berhati-hati dalam mendesain penelitian agar dapat memberikan jawaban kepada pertanyaan yang ditanyakan. Seperti halnya AKB, AKBa dan AKI pun dapat diperkirakan secara tidak langsung dengan menanyakan beberapa pertanyaan sederhana kepada responden. Prevalensi HIV lebih sulit dan menantang untuk diukur, tapi bukan tidak mungkin. Kedua, berhati-hati dalam membuat pernyataan, blanket statement, tanpa melakukan "due diligence" untuk mencari bukti-bukti ilmiah yang mendukung pernyataan tersebut. Besar harapan kita agar Riskesdas dapat menjadi dasar bagi evidence-based policy making di Kementerian Kesehatan, tapi tentunya hanya penelitian yang bisa menjawab pertanyaan yang ditanyakanlah yang bisa memberikan manfaat terbesar untuk tujuan tersebut. Saya menaruh hormat yang sangat besar atas upaya Kementerian Kesehatan melakukan Riskesdas,semoga kekurangan-kekurangan yang nampak saat ini dapat diperbaiki di masa yang akan datang. Akhir kata, besar harapan saya agar data mentah Riskesdas juga dapat diakses oleh publik untuk mengundang lebih banyak analisis dan debat ilmiah mengenai apa yang dapat kita kerjakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H