Sudah sewajarnya setiap kita berkonsultasi, atau mendapatkan pertolongan, dari seorang dokter, kita akan memberikan imbal jasa (yang biasanya) berupa uang. Kalau dulu, karena saya sedikit sakit-sakitan, Ibu saya selalu menanyakan langsung kepada dokter yang memeriksa saya, ‘berapa ongkosnya, Dok?’ Sekarang mungkin cukup banyak transaksi imbal jasa yang dilakukan di luar ruangan dokter; di kasir, misalnya. Saya sudah tidak ingat berapa ongkos periksa dokter anak yang memeriksa saya dulu, tapi saya jadi ingat pengalaman saya sewaktu operasi gigi bungsu beberapa tahun silam. Waktu itu, karena sudah cukup merasakan penderitaan sakit kepala yang datang bertubi-tubi, akhirnya saya membulatkan tekad untuk mencabut gigi geraham bungsu saya yang tumbuh miring. Padahal saya paling tidak suka ke dokter gigi, apalagi dioperasi. Singkat kata, di rumah sakit gigi tempat saya akan menjalankan operasi, saya diberi pilihan. ‘Dok,’ karena mereka menulis gelar saya di status, ‘mau dioperasinya sama residen, spesialis muda, atau yang sudah senior?’ Hmm. Beda ya? Ya, ternyata ongkos untuk pelayanan yang sama tersebut berbeda, berbanding lurus dengan pengalaman kerjanya. Wajar sih, mengingat penderitaan yang akan saya alami mungkin berbanding terbalik dengan pengalaman kerja tersebut. Tapi toh ujung-ujungnya saya memilih paket yang paling murah. Yah, begitulah mungkin logika orang miskin, sakit sedikit tidak apa-apa, yang penting masih bisa makan. Anyway, tarif jasa pelayanan dokter memang bisa berbeda-beda. Tarif untuk pelayanan yang sama (misalnya, imunisasi) bisa berbeda jika dilakukan oleh dokter yang berbeda (dokter umum vs. spesialis vs. dokter umum lain), atau di tempat yang berbeda (puskesmas vs. rumah sakit), atau di daerah yang berbeda (pulau Jawa vs. luar Jawa). Lazimnya, besaran tarif ini ditentukan oleh dokter (atau rumah sakit) itu sendiri. Inilah yang disebut sistem ‘fee-for-service’. Ada uang, ada barang. Cara pembayaran ini bukan saja paling lazim, tapi juga paling lama dipraktekkan sejak profesi dokter dikenal, setidaknya cara fee-for-service ini sudah ditulis di hukum Hammurabi (2000 SM). Namun, walaupun lazim, fee-for-service bukanlah satu-satunya cara membayar jasa dokter dan mungkin bukan cara terbaik untuk membayar dokter. Malah, perdebatan tentang, bukan saja cara dan besaran tapi, perlu tidaknya dokter memperoleh imbalan jasa bisa ditelusuri ke masa Yunani kuno. Pertanyaan yang diajukan Aristoteles (380 SM) adalah,apakah kedokteran suatu seni (art) atau teknik (craft)? Hipokrates sendiri lebih banyak menulis kedokteran sebagai seni; artinya, tidak perlu memperoleh imbalan. Tentunya tidak ada yang salah dengan pemberian imbalan jasa kepada dokter, walaupun orang bisa berbeda pendapat tentang permintaan imbalan jasa oleh seorang dokter. Galen (130 M), juga seorang dokter Yunani, berpendapat bahwa dokter yang berpraktek untuk alasan selain kemanusiaan (mis. mencari kekayaan), bukanlah seorang dokter yang inferior, tapi adalah seorang filsuf yang inferior (dan menurut Galen, dokter yang terbaik adalah seorang filsuf juga). Hanya saja, besaran imbalan dokter terkadang membawa masalah sehingga memerlukan pengaturan. Di Amerika, tepatnya di Boston abad 18, dokter berlomba-lomba member tarif yang murah untuk menarik lebih banyak pasien. Asosiasi Dokter Boston akhirnya menetapkan tarif minimal untuk mencegah persaingan yang tidak sehat; mengakibatkan kenaikan tarif dokter berlipat-lipat dibandingkan peningkatan biaya hidup di kota Boston di masa itu. Sebaliknya, di South Carolina, masih di Amerika, pemerintah membatasi tarif jasa dokter untuk menjaga agar biaya pelayanan dokter tidak menghabiskan penghasilan penduduknya yang miskin. Perdebatan tentang cara dan besaran pemberian imbalan jasa dokter terus berkembang sampai sekarang. Bahkan sedikit lebih rumit. Satu hal yang sangat membedakan praktek kedokteran dewasa ini dengan di masa Hipokrates dulu adalah adanya pihak ketiga sebagai pembayar, misalnya perusahaan asuransi atau negara. Perbedaan ini sangat mendasar, lo. Karena kehadiran pihak ketiga ini mengubah hubungan dokter-pasien secara mendasar, terutama dalam hal pembagian risiko finansial. Sebelum ada pihak ketiga, pihak yang menanggung risiko finansial tidak lain adalah pasien. Begitu kan? Pasien mendatangi dokter, dokter memberikan obat atau tindakan, lalu pasien yang mengeluarkan biaya. Tergantung penyakit, jenis perawatan dan tarif yang ditetapkan dokter (atau rumah sakit), biaya yang dikeluarkan pasien bisa nol sampai menyebabkan pasien kehilangan rumahnya. Pasien, tentunya mempunyai daya tawar yang lemah, dan pengertian yang terbatas tentang prosedur medis yang ia jalani, sehingga biasanya akan menurut saja, atau berhenti berobat. Pemerintah atau perusahaan asuransi tentu harus me-manage risiko finansial ini. Oleh karenanya, berbagai metode pembayaran dokter diperkenalkan untuk mengendalikan biaya pelayanan dokter (dan biaya pelayanan kesehatan pada umumnya), dengan mempertimbangkan dampak pengaturan tersebut terhadap kualitas pelayanan dan terhadap kesehatan masyarakat pada umumnya, tentunya. Salah satu cara pembayaran yang banyak dipakai oleh perusahan asuransi dan negara untuk membayar dokter adalah sistem kapitasi. Sistem fee-for-service sendiri kurang disukai dan semakin ditinggalkan. Sistem kapitasi akan digunakan oleh BPJS untuk membayar dokter mulai tahun 2014 nanti. Dengan sistem ini, seorang dokter akan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan tertentu kepada sejumlah penduduk (N), dan akan dibayar sejumlah uang untuk setiap penduduk yang berada di bawah tanggung jawabnya tersebut: besaran kapitasi (k). Besaran kapitasi ini tentunya akan berbeda dengan tarif pelayanan per pasien pada sistem fee-for-service. Pada sistem kapitasi yang sangat dasar, sebagai ilustrasi, seorang dokter dibayar sejumlah k*N setiap bulannya. Tentunya, tidak semua orang akan memerlukan pelayanan dokter di bulan tersebut. Jika x% dari penduduk menggunakan jasa dokter, dengan rata-rata biaya p setiap orangnya, maka dokter tersebut akan mengantungi k*N-(x%*N*p), atau N*(k-x%*p). Metode kapitasi ini lebih disukai, oleh pemerintah atau perusahaan asuransi, karena bisa memberikan insentif kepada dokter untuk memberikan pelayanan yang efisien (mengurangi pelayanan yang tidak perlu), sehingga dapat mengendalikan biaya pelayanan kesehatan dan juga mempromosikan tindakan preventif. Namun metode ini sering kali tidak disukai oleh dokter karena tampak menghargai pelayanan dokter dengan sangat murah dan dapat mengakibatkan kerugian finansial kepada dokter (sistem kapitasi memang memindahkan risiko finansial kepada dokter).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H