Mohon tunggu...
foralesbuyyer
foralesbuyyer Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Masih belajar menulis hehe...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 12%: Membuka Lebar Jurang Kesenjangan Sosial serta Menambah Beban Masyarakat Miskin

21 Desember 2024   23:27 Diperbarui: 21 Desember 2024   23:27 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

          Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang maupun jasa yang jumlahnya dihitung berdasarkan selisih antara nilai jual suatu barang atau jasa dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang atau jasa tersebut. PPN termasuk dalam kategori pajak tidak langsung, yang artinya pajak ini dikenakan pada konsumen akhir, bukan langsung pada penghasilan atau kekayaan individu atau badan usaha. Secara sederhana, PPN adalah pajak yang dikenakan atas transaksi barang dan jasa yang terjadi dalam perekonomian. Setiap kali barang atau jasa diproduksi dan diperjualbelikan, produsen atau penyedia jasa akan menambahkan persentase tertentu dari harga barang atau jasa tersebut sebagai pajak, yang kemudian disetorkan ke negara. PPN ini pada akhirnya dibayar oleh konsumen akhir yang membeli barang atau jasa tersebut. Oleh karena itu, meskipun yang memungut pajak adalah pedagang atau penyedia jasa, yang menanggung beban akhirnya adalah konsumen.

          Isu yang sedang hangat belakangan ini adalah kenaikan tarif PPN sebesar 12%. Sejak disebarkannya informasi mengenai kenaikan tarif PPN sebesar 12% pada 2024, banyak kalangan dan/atau masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah merasakan dampak yang cukup signifikan. Meskipun penerapan PPN 12% ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, hal tersebut juga berpotensi memperlebar jurang kesenjangan sosial dan menambah beban hidup masyarakat miskin. Kenaikan tarif pajak ini memengaruhi hampir seluruh transaksi barang dan jasa, sehingga meningkatkan harga barang-barang pokok yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat yang sudah terhimpit oleh keterbatasan penghasilan akan semakin terbebani, sementara golongan ekonomi atas relatif tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan ini.

          Penerapan PPN 12% berisiko membuat harga barang untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari menjadi lebih mahal, terutama bagi kelompok masyarakat yang sangat bergantung pada pengeluaran untuk kebutuhan pokok ini sangat amat terbebani dengan kebijakan tersebut. Barang-barang seperti makanan, bahan bakar, hingga obat-obatan akan mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan, yang tentu saja akan menambah kesulitan bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan. Kenaikan harga barang akibat PPN 12% akan memengaruhi daya beli masyarakat yang makin lama semakin menurun, terutama yang tinggal di daerah-daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, meskipun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendanai pembangunan, di sisi lain, dampak negatif dari kebijakan ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam distribusi beban pajak. Golongan masyarakat yang lebih mampu tidak akan merasakan beban yang sama seperti kelompok menengah ke bawah, yang hampir seluruh pendapatannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, kebijakan PPN 12% berpotensi semakin memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada di Indonesia.

Cara Kerja PPN: 

          Pada dasarnya, PPN bekerja melalui mekanisme yang disebut "sistem pemungutan bertahap" atau multi-stage tax. Setiap kali barang atau jasa diperdagangkan, pengusaha atau pedagang di setiap tahapan produksi dan distribusi harus memungut PPN atas barang atau jasa yang mereka jual. Namun, mereka dapat mengurangi jumlah PPN yang telah dibayar sebelumnya pada bahan baku atau barang setengah jadi yang mereka beli dari pemasok. Proses ini berlanjut hingga barang atau jasa tersebut sampai di tangan konsumen akhir.

          Sebagai contoh, misalnya sebuah pabrik membuat sepatu dan menjualnya ke toko seharga Rp 100.000 dengan tarif PPN 12%. Pabrik tersebut memungut PPN sebesar Rp 12.000 (12% dari Rp 100.000). Kemudian, toko menjual sepatu tersebut ke konsumen seharga Rp 200.000, sehingga toko memungut PPN sebesar Rp 24.000 (12% dari Rp 200.000). Toko dapat mengurangi jumlah PPN yang sudah dibayar kepada pabrik sebelumnya, yakni Rp 12.000, sehingga yang disetorkan ke negara adalah selisihnya, yaitu Rp 12.000. Pada akhirnya, konsumen yang membeli sepatu tersebutlah yang menanggung seluruh beban PPN.

Solusi yang Ditawarkan untuk Mengatasi Dampak PPN 12%:

  • Pengenaan tarif PPN yang lebih progresif, di mana barang dan jasa mewah yang lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan atas dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Dengan cara ini, beban pajak akan lebih banyak ditanggung oleh golongan yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi, sementara masyarakat miskin dan kelas menengah bawah tetap mendapat keringanan. Misalnya, barang-barang mewah seperti mobil atau elektronik canggih dapat dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi daripada barang kebutuhan pokok,
  • Pemerintah dapat memberikan pengecualian atau tarif PPN yang lebih rendah untuk barang-barang kebutuhan pokok yang vital bagi masyarakat miskin, seperti beras, minyak goreng, dan produk pangan lainnya,
  • Pemerintah dapat memperluas cakupan serta meningkatkan alokasi dana untuk program bantuan sosial seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), atau subsidi lainnya. Program-program ini dapat lebih efektif jika disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang terimbas oleh perubahan tarif PPN,
  • Pemerintah perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap dampak kebijakan PPN 12% terhadap perekonomian masyarakat, khususnya kelompok rentan. Jika dampak negatif lebih besar dari yang diharapkan, kebijakan ini perlu disesuaikan untuk mengurangi beban bagi masyarakat miskin dan menengah ke bawah.

          Kebijakan tarif PPN sebesar 12% berpotensi memperburuk ketimpangan sosial dan menambah beban hidup masyarakat miskin, terutama yang bergantung pada pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, dampaknya bisa sangat berat bagi kalangan menengah ke bawah karena kenaikan harga barang-barang vital seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak negatifnya, diperlukan kebijakan yang lebih progresif, seperti pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi pada barang mewah, pengecualian atau tarif lebih rendah untuk barang kebutuhan pokok, serta perbaikan dan perluasan program bantuan sosial yang dapat meringankan beban masyarakat yang paling terpengaruh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun