Bisnis Kuliner apakah harus produksi sendiri ?
Di era krisis, banyak perusahaan yang mulai gulung tikar sebab revenue / pendapatan tidak dapat menutup cost operasional / fixed cost. Pasalnya perusahaan tidak mendapat cukup revenue untuk membayar gaji bulanan karyawan, jika tidak cukup masa merogoh kocek pribadi? Nggak bagus donk arus kasnya perusahaan tersebut.
Nah kali ini saya ingin membahas bisnis yang menurut saya pribadi tidak akan pernah mati, yaitu Bisnis Kuliner. Setiap hari manusia rata-rata makan 3x sehari, memang makanan menjadi kebutuhan primer setiap manusia, tapi tidak semua Bisnis Kuliner dapat bertahan loh.... Zaman kekinian begini sangat banyak bermunculan Cafe-cafe yang menjadi tongkrongan anak muda yang suka eksis dan selfie-selfie lalu diupload di social media. Tidak lupa bazaar bazaar yang diadakan hampir setiap minggunya (biasanya hari jumat-minggu) setidaknya di dua mall besar di Surabaya.
[caption caption="Produksi sendiri nggak ya?"][/caption]
Pertanyaannya apakah produk produk yang dijual harus produksi sendiri? Berdasarkan pengalaman penulis saat bertanya tanya kepada penjual, tidak sedikit yang mengatakan bahwa produk yang dijual adalah bukan produksi sendiri alias produksi perusahaan atau orang lain namun di Re-Branding sedemikian rupa sehingga menaikkan harga jual produk tersebut. Berdasarkan beberapa respon dari penjual, berikut beberapa pro dan kontra bagi produk yang bukan produksi sendiri.
Pro :
- Operational Cost sedikit (Tidak perlu banyak menggunakan karyawan untuk produksi)
- Konsistensi produk dapat terjaga (Asal produsen menggunakan mesin dan kualitas yang konsisten)
- Jika one man show (Semua dikerjakan sendiri), dapat mempunyai banyak waktu untuk me-marketingkan produknya.
- Mempunyai waktu untuk mengembangkan bisnisnya, tidak terjebak di operasional / rutinitas
Kontra :Â
- Supply terkadang tidak konsisten dan terkadang tidak mendapatkan supply (Melihat kualitas dan integritas dari sang produsen juga)
- Jika suatu saat supplier tidak bekerja lagi, perusahaan vakum / gulung tikar karena tidak ada supplier (Hal ini bisa disiasati dengan mencari supplier cadangan sambil jalan bisnisnya, namun sangat berhati-hati apakah supplier utama dan supplier cadangan mempunyai kualitas yang sama, jika tidak akan buruk citra di mata konsumen)
- Supplier yang terkadang bisa langsung menjangkau end-user / konsumen langsung yang memakai barang tersebut (Cara menyiasati adalah dengan Re-Branding dan memberikan nilai tambah pada barang tersebut.)
Pro dan Kontra di atas sebagian juga saya rasakan sebagai pebisnis Kuliner.
Kalau teman teman pilih yang mana ? Produksi sendiri atau tidak ?
Monggo komentar dan masukan.
Foodelicious,