Mohon tunggu...
Folly Akbar
Folly Akbar Mohon Tunggu... -

Asli Cirebon, Sedang Study di Yogyakarta. Bermimpi Balik ke Cirebon dan Memajukan Cirebon ke Kancah Nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemuda KPI, Tak Sesuram PKI

17 Oktober 2012   14:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:44 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1350483364263266328

“Sudah saatnya kita bangga menjadi mahasiswa KPI, dan implementasikan kebanggaan tersebut dalam karya” cetus Juang

Tampak beberapa mahasiswa KPI bersama Habiburrahman di sela-sela produksi film “Dalam Mihrab Cinta” beberapa waktu lalu di Sleman.

Tidak sedikit mahasiswa yang merasa malu, menyesal, minder, galau, bahkan cenderung terpaksa ketika takdir Tuhan membawanya masuk ke Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam(KPI) Fakultas Dakwah. Dalam kaca mata mereka, jurusan-jurusan umum seperti Kimia, Fisika, Akuntansi, Sosiologi atau Ilmu Komunikasi terlihat lebih modern dan lebih menjanjikan keberlangsungan hidupnya di masa mendatang. Embel-embel jurusan Islam dianggap sebagai momok menakutkan layaknya PKI di era 60an.

Era Globalisasi yang menjadikan dunia barat sebagai kiblat memang telah menciptakan stereotip dikalangan pemuda untuk menyukai hal-hal yang bersifat kebarat-baratan(westernisasi). Identitas yang telah melekat dalam pribadi mereka seperti agama dan budaya dianggap sebagai sesuatu yang ndeso, katrok, kampungan dan istilah lain sejenisnya.Celakanya, pemikiran tersebut juga berlaku dalam memilih jurusan.

Tapi paradigma tersebut tidak berlaku bagi Juang Faaid Abdillah, salah seorang pemuda kelahiran Cianjur 10 Oktober 1988 yang telah menginjakan kakinya di KPI sejak sembilan semester yang lalu. Ditengah kesibukanya mengerjakan skripsi dan berbisnis, Juang masih bersedia untuk berbagi rasa semangatnya sebagai mahasiswa KPI. Dengan pembawaanya yang santai, sebuah harapan besar terucap dari mulutnya agar seluruh civitas akademia KPI khususnya mahasiswa, untuk bangga dengan KPI“Sudah saatnya kita semua bangga menjadi mahasiswa KPI. Kalau kebanyakan jurusan itu produk tiruan dari luar negeri, KPI adalah hasil pemikiran bangsa Indonesia” ujarnya menggebu.

Seperti kita ketahui bersama, sejarah pendidikan Indonesia mencatat KPI sebagai produk orisinil dari para pemikir Indonesia. Kehadiranya merupakan bagian dari usaha merelevankan ajaran Islam sesuai kondisi peradaban manusia, supaya Islam tidak terkesan norak dan kaku. Sebagaimana yang tertera dalam visi KPI yakni “Terdepan dalam pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu komunikasi dan penyiaran Islam yang berparadigma Islam

Pria yang pernah menjabat Presiden Jamaah Cinema Mahasiswa(JCM) periode 2010 itu juga menekankan rasa bangga pemuda KPI tidak sekedar di lisan, tapi harus mampu di implementaskan dalam sebuah karya. Dan tentunya karya yang dituangkan harus bernilai ke-KPI-an yakni jurnalistik dan broadcasting yang berbasis islam”yang membedakan KPI dengan ilmu komunikasi kan pesan moralnya(Islam) itu” tandasnya.

Tentu harapan dari terintegrasinya ketiga hal tersebut adalah mampu menciptakan konsumsi publik yang sehat, bermanfaat dan bermartabat bagi umat. Karena KPI hadir sebagai solusi atau trobosan atas perilaku media saat ini yang tidak proporsional dan mengabaikan nilai moral, meskipun apa yang disampaikan berupa fakta ”KPI itukan bentuk filtrasi” ungkapnya.

Dalam pemaparan selanjutnya, pria yang pernah aktif di Rasida FM tersebut mengingatkan akan pentingnya konsistensi dan keinginan untuk berkembang dalam berkarya. Dia juga mengkritik sikap cepat puas yang kerap dia temui diantara mahasiswa KPI ”karena merasa bisa melakukan satu hal, udah merasa puas, padahal banyak alumni kampus lain yang lebih matang”imbuhnya.

Untuk meninggalkan segala kekurangan dan hal negatif yang ada selama ini, Juang menghimbau adik-adik di KPI untuk menumbuhkan semangat perbaikan. Bagi dia, sudah bukan zamanya mengeluh atas keterbatasan fasilitas, mengingat perkembangan teknologi yang semakin mempermudah kita berkarya. Terlebih kini telah berdiri Laboratorium Pusat Pengembangan Teknologi Dakwah(PPTD) yang di dalamnya terdapat Rasida FM dan Suka TV sebagai sarana pembelajaran “Inget lo, zaman dulu itu ga ada rasida FM atau Suka TV” imbuhnya menyemangati.

Pernyataan tersebut diperkuat fakta yang mencatat banyaknya output KPI yang memiliki peran signifikan dalam dunia media di Indonesia, meski berproses dalam keterbatasan. Nama-nama seperti Zamroni yang sukses menembus Komisi Penyiaran Indonesia, lalu Sudaryono yang berhasil memegang Indosiar Biro Yogyakarta merupakan produk riil yang masih bisa kita lihat hingga kini. Belum lagi praktisi muda seperti Supadiyanto dan Bramma Aji Poetra yang melanglang buana di berbagai media lewat karya jurnalistiknya. Jika alumni terdahulu bisa sukses dengan keterbatasan, tidak ada toleransi bagi kita untuk gagal dalam kemapanan fasilitas?? Salam semangat pemuda KPI!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun