Mohon tunggu...
Folly Akbar
Folly Akbar Mohon Tunggu... -

Asli Cirebon, Sedang Study di Yogyakarta. Bermimpi Balik ke Cirebon dan Memajukan Cirebon ke Kancah Nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Baru dan Asa Pemberantasan Korupsi

8 Oktober 2014   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing penerapan kurikulum 2013 yang sudah berjalan tahun ini kembali menyeruak. Hal ini tidak lepas dari munculnya berbagai persoalan yang terjadi di lapangan, baik itu persoalan yang sifatnya teknis maupun filosofis. Tapi terlepas dari berbagai persoalan yang melanda, penerapan kurikulum 2013 yang digadang-gadang mengedepankan aspek pendidikan karakter sangatlah menarik untuk kita kaji bersama.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh mengakui jika perumusan kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya menjawab tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang menggelayutinya, tak terkecuali persoalan degradasi moral yang tengah melanda bangsa Indonesia. Jika memang benar demikian, ini akan menjadi secercah harapan di tengah mimpi kita melihat kembalinya fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa yang bukan hanya berfungsi sebagai pengembangan keilmuan, sarana transfer ilmu pengetahuan, penguasaan life skill dan teknologi, melainkan juga sebagai ajang internalisasi nilai-nilai luhur bagi kehidupan. Dan kita akan sama-sama melihat, apakah kehadiran kurikulum 2013 ini akan mampu mereduksi perilaku “amoral” yang semakin menjamur dan massif?

Menjadikan lembaga pendidikan sebagai "rumah sakit" bagi perbaikan moralitas bangsa bukan suatu hal yang keliru. Harus diakui, lembaga pendidikan adalah pilihan yang relevan sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa, karena di situlah intensitas pembinaan sumber daya manusia bisa dilakukan sedini mungkin. Selain itu, pendidikan sebagai “sang pencerah” juga dituntut berperan efektif sebagai agen perubahan peradaba manusia ke arah yang lebih baik.

Dalam kurikulum 2013, pendidikan karakter yang diajarkan kepada siswa ditujukan sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya degradasi moral secara lebih dini. Berbeda dengan pendekatan represif, pendekatan preventif mungkin tidak bisa dilihat hasilnya secara langsung, melainkan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Tapi sisi positifnya, pendekatan preventif akan menciptakan kesadaran, sehingga berdampak pada perbaikan moral terjadi secara alamiah (dibaca: tanpa paksaan).

Pendidikan Anti Korupsi

Di Indonesia, korupsi merupakan salah satu persoalan terbesar yang dihadapi bangsa saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membasmi “tikus-tikus” tersebut tak terkecuali melalui sektor pendidikan. Di Indonesia sendiri, istilah ataupun wacana pendidikan anti korupsi bukanlah pembicaraan yang baru lagi. Sudah jauh-jauh hari, para pakar pendidikan kita mengingatkan betapa pentingnya pemahaman soal dampak buruk perilaku korupsi kepada peserta didik. Dan Kemendikbud sebagai pemegang otoritas pendidikan sebenarnya sudah berupaya untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya dengan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pendidikan antikorupsi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2012 lalu.

Tapi dalam pelaksanaannya, MoU tersebut belum dijalankan secara menyeluruh dan massif. Sebagai contoh, di tingkat perguruan tinggi di Indonesia saja, hanya Universitas Paramadina yang telah mewajibkan mahasiswanya mengambil matakuliah “pendidikan antikorupsi” sebagai matakuliah wajib. Sedangkan ribuan kampus lainnya belum cukup tegas untuk mendeklarasikan perang melawan korupsi. Adapun di tingkat SD-SLTA, implementasinya masih jarang sekali kita dengar.

Dengan adanya momen penerapa kurikulum baru –di mana pendidikan karakter menjadi salah satu aspek yang ditonjolkan– kampanye pendidikan anti korupsi sudah semestinya digaungkan kembali. Baik itu dengan menjadikan pendidikan anti korupsi sebagai mata pelajaran/kuliah yang independen, maupun sebatas menyisipkannya dalam mata pelajaran/kuliah tertentu. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, wabah korupsi sudah menjadi penyakit akut yang mendarah daging, sehingga diperlukan “dokter spesialis” dalam penanganannya. Upaya-upaya yang strategis dan taktis sudah tidak bisa lagi ditawar.

Tapi dalam penerapannya, penanaman pendidikan karakter ataupun pendidikan anti korupsi kepada siswa bukanlah perkara yang mudah. Grand desain yang dibentuk dengan cara pandang yang holistik jelas sangat diperlukan. Ini artinya, Kemendikbud dalam hal ini dirasa perlu menyelaraskan berbagai agenda pendidikan yang ada. Hal ini berguna untuk membasmi berbagai fenomena “jungkir balik” yang banyak terjadi dalam dunia pendidikan kita. Akibatnya, kesan di satu sisi “mengobati”, tapi di sisi lain menebarkan “penyakit” pun muncul. Sebut saja kecurangan masal yang terjadi di setiap pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Tentu ini menjadi sebuah ironi tersendiri. Penanaman karakter yang dilakukan selama bertahun-tahun mendadak runtuh hanya dalam seminggu pelaksanaan UN.

Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap pemangku Stake Holder itu sendiri. beberapa hari yang lalu, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan jika Kemendikbud berada dalam tiga besar kementerian yang paling berpotensi korupsi selain Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan. Ini jelas bukanlah realitas yang baik. Karena bagaimanapun, pemimpin formal di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif merupakan figur-figur yang harus menjadi teladan bagi masyarakat dan siswa khususnya.

Selain itu, berbagai persoalan teknis yang kini tengah membelenggu keberlangsungan penerapan kurikulum 2013 sudah selayaknya diselesaikan. Ini dilakukan bukan hanya untuk mensukseskan program Kemendikbud di akhir masa jabatan, tapi juga keberlangsungan pendidikan dan bangsa ini ke depannya. Di akhir kata, mudah-mudahan fenomena gonta-ganti kurikulum yang kerap dilakukan Kemendikbud bukan karena proyek semata? Karena jika demikian, maka janganlah kita merasa heran kala “maling terdidik” seolah tiada habisnya. La wong sudah terjadi dari hulunya!

Tulisan ini dimuat Tabloid SuaraKPK edisi September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun