Mohon tunggu...
Fiola Anglina Wijono
Fiola Anglina Wijono Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa aktif di Universitas Pelita Harapan batch 2017

Bernafas dengan menulis, mengisi nutrisi dengan menari!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Cahaya Pemikat

9 April 2020   10:53 Diperbarui: 9 April 2020   10:50 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seolah masih kekurangan gelora gairah yang dilimpahkan oleh para gadis-gadis belia seperti yang kami lakukan ini, salah satu personil itu pun berkata, "Setelah ini, ada lagu baru!! Ayo kita bernyanyi bersama-sama!" Maka semakin terbakarlah cinta para gadis belia yang berada dalam konser itu.

Dari matahari menggantung di atas langit hingga bulan menggantikan posisinya sebagai penjaga langit, berlanjutlah lolongan para gadis yang diiringi dengan suara emas dari tiga makhluk sempurna yang kurang lebih menyerupai demo yang berisi pemberontakan atas kekosongan hidup yang haus akan pemenuhan tak diketahui harus diisi oleh hal lain selain menatap dan berharap pada ketiga sosok tersebut. Kehidupan yang mau tak mau dirasakan oleh tak hanya segelintir gadis usia belasan hingga dua puluhan.

Malam itu, aku masih ditemani oleh brosur konser tiga lelaki dahsyat itu di atas kasur lembut yang dipenuhi oleh boneka-boneka dan guling bergambarkan Kaji yang sangat kudambakan hadirnya. Tak mampu kuhentikan luapan cinta dari dalam lubuk hati yang merobek dinding-dinding rasa malu dan ketakutan yang selama ini kurasakan. Karena pada hari yang bersejarah ini, ketika alam semesta tak bisa lagi menyisipkan jarak di antara kami, akhirnya mata kami, raga kami, keseluruhan diri kami berada dalam ruang dan waktu yang sama! Bahagianya diriku! Sungguh kurasakan dari ujung rambut hingga kuku tanganku meleleh saat mataku dan Kaji bertemu. Tatapan lembut yang mengalir dari sepasang bola mata hitam kecoklatan dengan secercah cahaya menyilaukan itu, (gambaran mata). Setiap kali semesta mengizinkan jarak di antara kami mengikis, angan-angan selalu berhasil membuatku terbang tinggi di atas awan yang bertabur bintang-bintang. Berselimutkan senyuman dan hangat peluknya. Seolah tak ada satu pun di dunia ini yang dia butuhkan untuk menjadi satu-satunya pelengkap hatinya yang kosong dan membutuhkan penghuni sehidup semati selain jiwa ini, raga ini, aku. Hadirnya selalu mengisyaratkan bahwa tak ada makhluk yang lebih berharga daripada diriku.

"Seandainya... Kyaaa!" teriakku dengan ketidaksanggupan menahan gejolak dalam hati. Degup tak beraturan ini terus menuntunku hingga rasa ini memasuki alam mimpi yang sepekat gelapnya malam.

Sayangnya, matahari tidak bersimpati sedikitpun.padaku!. Seluruh angan yang kemarin sempat membawaku terbang hingga puncak tertinggi akhirnya runtuh oleh sebuah kilat petir yang tak seorang pun pernah mengundangnya, kecuali satu sosok itu. Sosok yang begitu kukasihi sedari kami masih memelerkan ingus yang kemudian tersedot begitu saja bagai air minum. Ia muncul bersama pagi hari yang cerah dan langit berpihak padanya. Tak kusangka secarik kertas yang mempersilakan satu pribadi beruntung untuk mengukir kenangan bersama tiga pangeran dari khayangan itu justru jatuh di tangannya. Memang hanya untuk 24 jam, tapi tetap saja! Darahku telah menderapkan dirinya ke atas ubun-ubunku. Rasanya matahari sungguh mengompori pembicaraanku dengan Yuma dan berdiri tepat di atas kepalaku.

Kucoba mengutarakan keputusasaanku dan berharap sahabatku yang satu ini memberi sedikit kemurahan hatinya padaku. Setidaknnya diingat segala jenis aibnya yang ada pada tanganku dan kenangan yang terbalut di seluruh kulitku. Harap-harap sejumlah uangku mampu meukarkan kebahagiaannya menjadi bahagiaku. Tapi percuma! Manusia itu maha egois dan tak menghiraukan kebaikan hatiku padanya. Memang terpancar betul pada air mukanya. Sahabat yang tak tahu diri! Tapi sudahlah, kucoba relakan walau duri ini masih menyangkut dalam tulang-tulangku.

Tak pernah lelah dia berhenti mengejutkanku, kali ini dia memberikan kejutan yang tak kalah ramai mengacaukan suasana hatiku. Dia memiliki pacar! Bentuk wajahnya, matanya, lipat bibirnya, semuanya sangat mirip dengan Kaji kesayanganku! Katanya, lelaki itu duluan yang mengutarakan keinginan untuk merajut hari-hari penuh kebahagiaan bersama dengannya.

"Bumm!!!" susah payah aku menahan diri untuk tidak melepas tali penyangga bom yang akan meluncur. Dia dengan ketidakbersalahannya itu malah menendang bom itu sendiri dan membuatya meledak. Sudah seperti pengemis aku mengais tiket eksklusif itu. Kujual harga diriku, kujual aibmu yang ada padaku, kujual seluruh uang yang sekiranya dimiliki oleh keluargaku. Tapi apa yang dia berikan? Sungguh licik! Serakah! Ular! Dia mendapatkan tiket berharga itu! Kaji! Duplikatnya Kaji! Anjing yang sangat lucu. Siapa tadi namanya? Shushu? Semua itu untuknya?! Ahhh tak sanggup lagi aku menahan semua gejolak ini! Akulah yang layak untuk bertemu dengan Kaji! Tanganku bergegas menyergap kerah bajunya sekuat mungkin. Kucengkram lehernya hingga tak ada oksigen yang sanggup melalui kerasnya tanganku. Tak cukup sampai di situ, tanganku yang sebelah kanan meraih rambutnya dan kucoba mencabutnya seperti mencabut rumput liar di taman. Usaha yang cukup mengucurkan keringat dan kekecewaan.

Aku! Hanya aku yang layak untuk lelaki sempurna itu! Dari jutaan manusia yang ada di dunia ini, kenapa malah sampah ini yang mendapatkan keberuntungan. Dia mendapatkan permata di saat hatinya sehina cacing yang terkubur dalam tanah. Padahal perasaanku tulus! Murni! Tak ada satu pun dalam hidupku yang membuatku bahagia. Setidaknya kali ini saja biarkan aku bahagia! Hanya 24 jam saja! Kulemparkan tamparan keras padanya.

"Buak!" sosok lemah rentan itu jatuh, tersungkur, bersua dengan sebuah batu besar yang melepaskan jiwa dari raganya. Matanya membelalak. Tubuhnya seolah masih tak rela kehilangan kesempatan emas yang dia miliki dari secarik kertas beruntung itu. Ah, aku terkejut. Sepertinya tenagaku terlalu kuat. Ataukah dia tidak memiliki tenaga sehemat apapun itu? Entahlah!

Malam ini, bulan dan keringat menjadi saksi kejadian yang paling bersejarah dalam hidupku. Suara gonggongan Shushu berbalasan dengan suara cangkul yang kutemukan tergeletak di pinggir jalan. Seolah ada sepasang mata lain yang ikut menyaksikan kejadian itu. Tapi bukan aku! Aku tidak membunuhnya! Dialah yang membebaskan jiwanya pada sebongkah batu! Iya batu! Persetan dengan mata sialan yang melihat pertengkaran kami yang malah berujung pada kepergian sahabatku itu. Aku tak peduli! Ah tiketnya!! Gawat, aku malah menguburnya bersamanya! Hanya dengan beberapa congkelan, aku mendapatkan tiketnya! Secarik kertas pengubah nasib hidupku! Hidup aku! Tapi,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun