Pers yang menjadi pilar demokrasi punya tugas besar untuk menjangkau keberagaman masyarakat. Itulah salah satu poin yang sering digaungkan dalam kritik media, termasuk di era digital ini.
Sayangnya, beberapa topik dalam isu keberagaman sering dianggap tabu dan jarang disentuh di ranah publik. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah, apa kabar isu 'tabu' di ranah jurnalisme digital?
Mendengar Kisah
Sebuah kisah mengingatkan saya pada persoalan keberagaman.
Dua tahun lalu, saya berjumpa Jessica di kelas Komunikasi Massa. Seorang penyanyi dan aktivis yang berbagi kisahnya dan teman-teman transpuannya. Kisah Jessica menyadarkan saya pada satu hal.
Perenungan itu berbuah pada tiga hal. Satu, buah tugas yang diunggah di media sosial pribadi. Dua, pikiran bahwa tidak semua hal yang disebut 'normal' itu wajar, sebab ia punya kesempatan untuk hadir dengan pemahaman yang lebih baik. Tiga, pemahaman bahwa buah nomor dua dapat terjadi di isu-isu sosial lainnya.
Solusi atas apa yang Jessica dan rekannya alami punya jalan yang panjang. Sebagaimana sikap dan nilai seseorang yang sulit diubah, demikian pula cara masyarakat memandang isu 'tabu' semacam ini.
Namun, beberapa tahun belakang, pembahasan terkait isu-isu tabu kian ramai diperbincangkan. Isu kesetaraan gender, LGBT, aborsi, persoalan etnis dan ras, hingga kesehatan mental, misalnya, perlahan mendapat tempat di era jurnalisme yang serba digital ini.
Media yang Berkembang
Dari sudut pandang media arus utama, isu-isu yang tabu biasanya dianggap tidak menguntungkan. Sebuah tesis menyebut, adanya statistik pembaca yang menilai tren pembahasan isu atau kelompok marjinal dapat merusak tren industri.