Mohon tunggu...
Hatta El-Maccoaloe
Hatta El-Maccoaloe Mohon Tunggu... lainnya -

Circumstances made me the theatrical personality I am, which many people believe is also a part of my personal life.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegilaan

23 September 2014   19:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14114509621705059435

“…Bahkan, sebuah kebijaksanaan bisa lahir dari sebuah kegilaan..”

“Endang Gundul….! Endang gundul….!!”

“plokk…plookk…plookk…”

Sembari menepuk-nepuk tangan dan bersorak-sorak. Kami segerombolan “gangster” kecil yang belum tamat bangku sekolah dasar asik mengerjai seorang perempuan gila. Hampir setiap kali orang gila tersebut lewat di depan kami, maka secara spontan dan kegirangan kami merasa menemukan objek sekaligus proyek untuk dikerjakan bersama-sama. (Note: Latar Belakang cerita tahun 1996).

Perempuan gila ini dilingkungan kami dikenal dengan panggilan “mbak endang gundul”. Bukan tanpa sebab ia dipanggil demikian, hal itu karena Mbak endang memang tidak memiliki rambut dikepalanya. Untung Mbak Endang kreatif, dijahitnya perca berwarna-warnidan disulapnya menjadi wig yang dilekatkan dikepalanya.Sekilas mirip tampilan rambut Rastafarian. Sangat artistic.

Jika tidak sedang mengejek atau menyoraki, maka kami dengan gaya preman pasar meminta duit receh Dari mbak endang untuk jajan. Mbak endang yang gugup akhirnya mau juga memberi kami uang receh , sekedar lima puluh atau seratus rupiah….

Mbak endang sendiri tinggal di sebuah WC bekas tak jauh dari rumah Noni, teman masa kecilku.Sebuah WC berdampingan dengan sebuah sumur tua di sampingnya. Sumur dengan air yang dangkal dan telah dipenuhi oleh sampah didalamnya. Sebenarnya WC sekaligus sumur tua ini merupakan satu bagian dari Musholla yang ada di desa itu. Setahuku Musholla tersebut merupakan warisan dari salah satu warga yang terbilang mampu yang sudah lama meninggal dunia. Berhubung kerabatnya yang masih hidup dapat dikatakan sebagai kurang religious, maka Musholla tersebut tidak terurus dan hanya aktif dipakai warga ketika bulan Ramadhan tiba.

Waktu dulu, aku sudah terfikir betapa sedihnya orang yang menghibahkan Musholanya ini. Pastilah harapannya Mushola ini dapat bermanfaat secara maksimal sertabanyak didatangi kerabat dan warga untuk beribadah, namun faktanya justru Musholla itu kurang terurus. Sering kulihat banyak kotoran cicak dilantainya yang terbuat dari semen sederhana. Maupun sarang laba-laba yang bergantung di langit-langit Musholla. Musholla ini hanyalah sebuah Musholla yang kecil, yang mungkin hanya bisa menampung 30-an orang jemaah. Selepas ramadhan, maka Musholla hanya akan kembali menjadi tempat bermain bagi anak-anak kecil seperti kami.

Dalam kesendiriannya aku sering memperhatikan Mbak endang. Entah karena alasan apa, sejujurnya aku merasa terpikat padanya. Aku seolah bisa merasakan bahwa ia menyimpan banyak misteri yang berasal dari pancaran matanya. Dan aku selalu ingin tahu akan hal itu..

Untuk diketahui, satu hal yang aku ingat sebagai ciri khas Mbak Endang ialah pinggiran bola matanya yang berwarna kebiruan. Dan itu membuatnya tampak istimewa. Giginya berwarna kemerahan karena kegemarannya mengunyah sirih. Meskipun bajunya selalu rombeng tak karuan, namun kesan artistik tak pernah lepas darinya. Ia lebih sering memakai bawahan rok yang rombeng , hamper seperti yang dikenakan oleh gadis-gadis gipsy. Rambut Mbak Endang tak pernah bisa tumbuh panjang. Hanya satu senti, itupun tertutup warna putih karena uban. Aku memprediksi usia Mbak Endang waktu itu sekitar 45tahun.

Mbak endang tinggal disebuah WC yang sangat tidak layak. Sepertinya warga mengetahui keberadaan mbak endang disitu, namun membiarkannya begitu saja. WC ini berukuran 1 x 1,5 m dan terbuat dari semen kira-kira cukup untuk tidur namun tidak untuk menselonjorkan kaki. Didalamnya begitu sumpek dan kotor;berisi Sampah plastik, dedaunan kering, udara yang lembab, tanaman-tanaman menjalar yang liar, serta bau-bau tidak sedap lainnya.

Kebiasaan mbak endang ialah, membawa tas plastic (kresek) hitam, tempatnya menaruh barang-barang Mulai dari baju, peniti, makanan-makanan sisa dari tempat sampah, barang-barang rongsokan, hingga uang recehan!. Ya, Mbak Endang adalah orang gila yang mengerti nilai uang. Terkadang mbak endang dengan sopan meminta uang dari orang-orang yang ia temui, sekedar untuk membeli nasi pengganjal perut ketika ia lapar.

Ketika sedang tidak bersama teman-teman, Aku menjadi tidak terlalu “rese”. Sendirian, aku mengunjungi Mbak Endang, sembari bersantai melihat kebun pepohonan jati yang memang terhampar rindang didepan “Rumah WC “ mbak endang. Cukup menyenangkan, karena hembusan angin yang sejuk dan menenangkan fikiran.

Terlahir sebagai anak yang pemikir, Aku hampir selalu penasaran dengan kegilaan Mbak Endang Meskipun disisi lain, jujur ada rasa jijik sekaligus takut.

Seorang pemikir popular dari perancis , Michel Foucault ; menjelaskan tentang konsep “kegilaan” ini di dalam tulisan“madness and civilization” (Kegilaan dan Peradaban). Dimana pada masa abad pertengahan eropa segala bentuk ketidak normalan atau hal-hal yang dianggap sebagai bagian dari “kegilaan”, maupun aib pada masa itu, berusaha keras untuk dimusnahakan. Karena dianggap tidak efektif bagi kehidupan kenegaraan. Mereka-mereka yang dimasukkan kedalam golongan “gila” adalah mereka para penderita lepra, penderita gangguan jiwa, keterbelakangan mental, gelandangan, pengemis, bahkan kaum homoseksual dan lesbian diasingkan didalam sebuah penjara di pulau terpencil atau dimasukkan kedalam sebuah kapal dan ditenggelamkan ditengah samudera.

Memang benar, bahwa disisi lain kita merasa jijik terhadap hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan standar apa yang disebut “normal” atau “sama” sepertihalnya apa yang telah ada kebanyakan. dan menganggap hal-hal tertentu tidak dapat diterima dan merupakan skandal/ aib yang memalukan. Namun disisi lain, tanpa disadari kita selalu mencari-cari apa yang ingin kita singkirkan. Semakin ditutupi fenomena “ketidaknormalan” semakin banyak orang merasa penasaran untuk mencari tahu, mengusik-usik, mengetahuinya, bahkan berkeinginan mengalami sensasi didalamnya.

Duduk berdua bersama mbak endang entah mengapa memberi ketenangan yang tak terjelaskan. ditemani desiran anginlah terkadang hati kami saling terkait. Bahwa ditengah kesunyian itulah sepertinya hati kami bisa bercakap-cakap. Kulihat dikedalaman matanya, tampak kesedihan didalamnya. Namun, meskipun aku sangat ingin, aku tak cukup berani untuk bertanya apapun lebih jauh.

“kenapa kamu tinggal disini?”, “apakah yang ada dalam pikiranmu sekarang?”, “kenapa kamu gila mbak?”, itulah pertanyaan-pertanyaan yang berputar dikepalaku waktu itu. Jika nekat bertanya, Aku takut Mbak Endang mengamuk. Cukuplah bagiku pada saat itu, mendapatkan kedamaian hati dengan saling berdiam diri.

Hampir persis dengan yang dikatakan penyair besar Kahlil Gibran :

“Kesunyian menerangi jiwa kita,

Berbisik kepada hati-hati kita,

Dan menyatukan mereka.

Kesunyian memisahkan kita dari diri kita.

Membuat kita melayani langit jiwa dan membuat kita

Lebih dekat dengan syurga”

Aku hanya berusaha memahami mbak endang dengan diam-diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun