“Beauty is not who you are on the outside, it is the wisdom and time you gave away to save another struggling soul, like you.”
― Shannon L. Alder
Dua kali datang ke salon untuk potong rambut, dan aku ditolak!. Yakin, bahwa perisitiwa seperti ini tidak menimpa semua orang. Dapat dibilang, peristiwa yang langka. Capster menyatakan penolakannya dengan alasan ; “tidak tega”. Dan justru menyarankan untuk mencari salon lain yang mau memotong pendek rambutku.
Jujur, penolakan ini membuatku terkejut, sekaligus berfikir.
Dan akhirnya mengundurkan niat untuk memotong rambut menjadi pendek dan sekedar merapikan sedikit-sedikit dan lalu creambath.
Aku putuskan untuk menunda (bukan berhenti). Hanya sekedar untuk memberi waktu pada diri sendiri untuk memaknai lebih jauh peristiwa kecil ini.
“hey, ini hanya rambut!”.
Jujur, aku sangat menyayangi rambutku. Jujur, bagiku ia indah. Bukan hanya capster yang tidak tega memotongnya, akupun sebenarnya demikian. Keputusan untuk memotong rambut menjadi pendek hanyalah sebuah langkah kecil yang coba aku buat untuk melakukan sebuah eksperimen sederhana untuk mendapatkan cinta sejati dan untuk menjawab pertanyaan berikut;
“dapatkah aku dicintai karena diriku, dan bukan apa yang melekat pada diriku?”.
Bukan tanpa alasan sikap ini dipilih, karena berdasar pengalaman membina hubungan (baca: bepacaran), lumrah ketika kita melontarkan pertanyaan iseng seperti ini;
“apa yang paling kamu sukai dari diriku?”
Dan jawabannya….
“Rambutmu”
Ssshhhh…jawaban itu terdengar familiar sekaligus usang.
Tidak ada yang terasa special atas jawaban itu.
“lalu, bagaimana seandainya ketika pertama kali kita bertemu rambutku tidak seperti ini? Bagaimana jika rambutku hanyalah sekumpulan helaian rambut tipis tak berkilau, yang terlalu banyak terpapar catok, dan hair dryer? Masihkah kau akan tertarik, lalu terdorong untuk mendekat dan kemudian ‘mencintaiku’?. Ah aku tidak yakin.
Apalagi jika dirimu tidak gandrung pada obrolan serta diskusi-diskusi ringan yang menggairahkan.
“cintailah rambutku!, bercumbulah dengannya!”. Mungkin hanya sampai disitu aku mengapresiasi kehadiranmu.
Aku memahami bahwa kesan pertama (rata-rata3 detik pertama), manusia cenderung tertarik pada hal-hal yang bersifat fisiologis (fisik). Bahkan Cinderella sekalipun harus memakai gaun pesta yang indah sehingga Pangeran dapat melihat lebih jauh kecantikan didalam dirinya. Mungkin, itu pulalah yang terjadi pada mereka-mereka yang terhipnotis pada sensualitas rambut yang mempesona. Hingga akhirnya menjelma menjadi seorang ‘fetish’ yang terlalu buru-buru dan “buta” untuk mau melihat lebih jauh kedalam siapa pemilik rambut itu sebenarnya. Alih-alih jika diriku memang pantas untuk dicintai dan dimiliki, jika ternyata tidak?. Nah.
Setiap orang tentu berhak untuk menentukan bagaimana ia ingin dicintai; kecantikan, kemolekan, ketampanan, harta, jabatan, maupun popularitas memang menjanjikan,namun bukan segalanya. Mereka yang memilih menikahi kekasih yang tampan namun berperilaku urakan hanya menghabiskan masa tuanya dengan sesosok pria keriput yang tak kunjung dewasa dan telah sirna ketampanannya.
Mereka yang dengan bangga menggandeng perempuan berbody sexy, namun banyak maunya, hanya akan menjadi laki-laki workaholic yang menemani sesosok perempuan penggerutu yang sering berbelanja dan mengatakan; “sepatu ini LUCU’”, “tas ini LUCU’”, yang secara ironis, seolah ia kekurangan referensi kosakata yang bisa diterima oleh akal sehat, untuk membedakan antara barang bagus dengan film komedi.
Pujalah rambutku, jadilah fetish yang maniak, maka perlahan matamu akan terbuka dan melihat kenyataan bahwa rambut itu bisa memutih, menjadi kusam dan satu-persatu jatuh di lantai karena termakan usia.
Rambut, atau apapun yang melekat pada manusia (harta, kecantikan, jabatan, popularitas,dll) hanyalah titipan. Yang namanya titipan, suatu saat pasti kembali pada pemiliknya. Memang benar, sepanjang titipan tersebut masih ada bersama kita, kita dapat menggunakannya dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Namun, jangan jadi ‘jumawa’ karena hal-hal yang disebutkan diatas sifatnya hanyalah ‘kemenangan sesaat’. Mereka rapuh.
Ibarat piala, benda-benda titipan itu tidak lebih dari sebuah piala bergilir. Yang kaya belum tentu selamanya kaya, yang cantik tidak selamanya cantik, yang sehat tidak selamanya bugar, dan yang popular tidak selamanya dipuja.
"Perjalanan waktu serta bertambahnya usia adalah pencuri terbaik yang akan mengambil semuanya. Terlebih jika tidak punya apa-apa didalam dirinya selain pesona yang tampak dari luar. Maka, ketika piala tersebut harus berpindah tangan, seyogyanya manusia tetap bisa berjalan dengan kepala tegak. Tidak malu, tidak minder, dan tidak roboh! Karena ia sudah mampu memerankan dirinya sebagai arsitek yang baik, yangsecara sadar membangun pondasi yang kokoh didalam dirinya, sejak dulu…"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H