“Kamu lagi galau ya?”
Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya ketika pertama kali kami bertemu lagi setelah sekian lama. Aku menjawab lugas “nggak”.
Kalau kata ‘galau’ adalah seperti yang kamu maksud, atau seperti idiom yang banyak orang sebut-sebut belakangan ini, jelas jawabannya memang “nggak”.
Meskipun, dalam hatiku malah balik bertanya (“emang kapan aku pernah TIDAK galau?”)
Seluruh hidupku adalah kegalauan.
Bahkan sejak kecil, aku dapat menyebut diriku sebagai “anak kecil yang frustasi”.
Ketika aku sudah dapat menyadari hal-hal yang mungkin tidak terfikir oleh anak kecil kebanyakan dimasa itu. Anak kecil mana yang dalam hatinya selalu memberi kritik pada anak kecil lainnya?
“ah, kalian sempit”, “ah,kalian membosankan”, “ah,kalian bodoh”, “ah, kalian…bertingkah kayak anak kecil saja!”. Anak kecil mana yang berteriak-teriak didalam rumah karena marah dan kecewa sembari berkata; “aku tidak akan pernah mau menikah!”. Tau apa anak kecil mengenai pernikahan??.
Dia pastilah anak kecil yang frustasi. Yang memilih menenggelamkan dirinya dalam lautan buku, yang menguping pembicaraan orang dewasa, yang mengawasi setiap gerak-gerik tamu ayahnya yang datang atau sekalian menyusuri gorong-gorong kota yang kotor berharap dapat bertemu dengan kura-kura ninja karena rasa ingin tahunya yang terlampau besar.
###########
Café tempat kami berempat duduk terasa agak terlalu ramai, karena memang belum terlalu malam.
Tapi tidak mengapa, dibanding harus terjebak dalam alunan music reggae di café sebelah yang samar-samar dipenuhi penghisap ganja.
Menyesuaikan suasana hati, akupun memesan Tiramishu. Meskipun tau bahwa Tiramishu kemungkinan akan terasa terlalu manis untuk teman laki-laki yang mencinta kopi, namun aku tetap nekat memesan 1 porsi juga untuknya, hanya untuk melihat reaksi.
Aku senang memberikan kebalikan dari apa yang aku tau; oranglain harapkan. Entahlah, itu hanya semacam ‘cara’. Cara untuk selalu diingat; “sangat disukai” atau “sangat dibenci”. Apa yang menarik menjadi seseorang yang berada ditengah-tengah dan lalu dengan mudah dilupakan?.
Malam itu, seperti biasa, dan seperti dirinya. Laki-laki itu melontarkan pertanyaan aneh ; “Jadi mana yang benar, Tuhan yang menciptakan kita, atau kita yang menciptakan Tuhan?”.
“ah, pertanyaan macam ini lagi!”
“dasar Freudian!” ucapku dalam hati.
Pertanyaan serupa sudah berputar-putar menggeliat dalam otakku selama bertahun-tahun dan mulai menjadi bangkai.
Lalu disusul dengan pertanyaan susulan;
“Jadi Tuhan itu alien bukan?” katanya.
Dengan sekenanya, Aku jawab saja”ya tentu saja Tuhan itu alien”.
Dua orang teman perempuan di kiri dan kanan kita berdua serempak menunjukkan ekspresi muka tidak setuju. Seolah jawabanku dianggap hanya lelucon bahkan cenderung menghina. Mudah bagiku, menangkap ekspresi mikro semacam ini bahkan hanya dari sekerling pengamatan yang ada di ujung mata dan lalu menyimpannya untuk diriku sendiri.
“ya kenapa tidak, Tuhan itu disebut –alien-, bukankah kata alien sendiri berarti –makhluk asing-?. Bukan serta merta alien hanya terpatok pada makhluk luar angkasa berwajah asimetris, dengan bola mata hijau besar dan memakai helm bulat transparan sembari menunggang piring pizza!”.
Bahkan aku sendiri sering mengganggap diriku adalah –alien- . Makhluk yang sepanjang hidupnya merasa –teralienasi- tepatnya. Bukan karena berbeda ato merasa special. Bukan! Toh, semua manusia memiliki ciri dan kekhasan yang menjadi pembeda dirinya diantara satu sama lain. Melainkan karena diriku tidak pernah merasa benar-benar menjadi bagian dari sebuah –situasi- atau jalinan cerita dimanapun aku berada. Terdengar aneh, tapi begitulah adanya.
Sama seperti malam ini, ketika orang sibuk menggunjingkan hal-hal yang “berat” mengenai Tuhan, fikiranku telah mengembara jauh ..bertamasya, minum kopi bareng Tuhan..oh, indahnya..
Perbincangan mengenai “Tuhan” malam itu praktis berhenti ketika beradu dengan argument berikutnya dari teman perempuan yang duduk disebelah kiriku.
“ya, semuanya itu kan kembali kepada IMAN sebagai apa yang menjadi keyakinan masing-masing, meskipun aku tau sampai saat ini tidak ada yang berhasil membuktikan eksistensi Tuhan, tapi sebagai umat yang berAGAMA; aku percaya Ia ada”.
Titik.
Maka habislah semua argument apapun yang digelontorkan malam itu. Lagi-lagi semua diskusi mengenai keTuhanan berhenti ketika sudah menyentuh ranah IMAN.
Aku yang memposisikan sebagai pendengar, malam itu tertunduk. Sadar tidak memberi kontribusi berarti, karena sadar dari awal bahwa diskusi dengan dua buah batu sama saja dengan ngomong sama kaca. “MANTUL!”. Tapi dia yang duduk berhadapan denganku adalah pengecualian. Seseorang yang mengaku “agnostic” dan menuduhku sebagai seorang “skeptic”.
Dituduh demikian akupun diam saja, karena aku tau cara menghibur diriku dengan janji-janji muluk yang ditawarkan agama, bahwa difitnah dan lalu bersabar adalah mendapat ‘pahala’.(hahahaa….) aku tertawa sendiri mewakili hati seorang umat yang selalu frustasi.
Aku tidak ingat, kapan terakhir aku tidak frustasi. Mungkin saja tangis pertamaku sewaktu dilahirkan bukanlah tangis hysteria biasa, mungkin tangis itu hanyalah permulaan bagi tangis frustasi menyambut euphoria kehadiranku di bumi yang rancu ini.
Dia adalah orang ketiga yang memiliki tipikal mirip dengan dua orang lainnya, yang lebih dulu aku kenal. Sama-sama mengaku ‘Agnostik’, sama-sama ‘kritis’ sama-sama cerewet, sama-sama keras kepala, sama-sama jago’ ngeyel’ dan sama-sama ‘laki-laki’.
Hanya Aku dan ‘alter egoku’ yang aku temui di cermin, yang merupakan satu-satunya perempuan yang memiliki ke-rese-an yang sama untuk terus ‘mengusik Tuhan’- ‘mengusik agama’ meskipun keduanya merupakan hal yang berbeda.
Satu diantara laki-laki yang aku temui lebih dulu beberapa tahun yang lalu bahkan lebih ‘gila’. Gila dalam penerjemahan aku sendiri. Dia yang benar-benar sempat menjadi ‘gila’ atas julukan yang diberikan teman-teman karena dianggap ‘kabotan ilmu’ (bahasa jawa: keberatan ilmu). Yang suka tiba-tiba random dan tau-tau menanyakan perihal tertentu dalam situasi yang selalu tidak pas, dan psikologis yang tidak siap
“kamu paham Sirah Nabawiyah gak?” katanya suatu hari, ketika aku tergesa-gesa berjalan mengejar dosen.
“hah?? Apaan tuh??’ kataku. Antara bingung membedakan apakah yang ia tanyakan itu termasuk kata benda, kata kerja, atau kata sifat.
“akh, payah kamu!” jawabnya nyinyir.
Tanpa diminta ia menjelaskan panjang lebar hal yang ia tanyakan dan lalu tanpa sadar ia jawab sendiri.
“o, gitu ya”. Hanya itu jawabku setelah ia menjelaskan hingga mulutnya berbusa.
Yang lebih parah, ia bahkan pernah menculikku (*dan pada akhirnya harus kuakui aku merasa agak senang diculik olehnya). Dari malam hingga subuh dan mengusik ketenangan jiwaku yang semu hanya untuk menanyakan; “pernah nggak, kamu dengan sengaja berusaha melatih serta memaksimalkan dirimu (menemukan puncak) atas tiga elemen ini secara bersamaan: intelektual, emosional dan spiritual?”
Pertanyaan itu terus mengambang dikedalam jiwaku selama bertahun-tahun setelahnya, ketika pada akhirnya aku berjumpa lagi dengannya. Tebak apa? “orang gila” itu sudah bertransformasi menjadi jelmaan ‘Buddha’, kata ‘Buddha’ disini aku maksudkan untuk menggambarkan secara harfiah ‘seorang yang bijaksana’ atau orang yang telah mendapat petunjuk atau mencapai Penerangan Sempurna. Bahkan ketika ia belum membuka mulutnya, dari jarak beberapa meter sebelum akhirnya kami berjabat tangan, aku sudah bisa merasakan sensasi “wow” yang terpancar terang-benderang dari dirinya yang baru. Aku tidak tau, itu hanyalah aku dan sensasi supranaturalku atau oranglain juga mampu merasakan hal yang sama ketika melihat dirinya.
Aku rasa pertanyaannya yang ditujukan kepadaku beberapa tahun yang lalu, telah terjawab (lagi) oleh dirinya sendiri.
Meskipun hanya dalam hati, Akhirnya aku dapat berkata; “Congratulations”.
##############
Sembari mereka mengobrol mengenai dunia ramal-meramal, fikiranku terlontar mereplay kembali kejadian yang terjadi seharian itu. Yang memenangkan rekor adalah satu pertanyaan, namun kudengar berulang-ulang dari beberapa orang yang berbeda. Yang pada akhirnya seperti suara echo-teriakan protes yang menggema dalam labirin lorong-lorong panjang pikiranku; “kamu muslim? Kok pake kalung salib?”.
Pertanyaan semacam ini sebenarnya tidak susah dijawab, hanya saja pola fikir yang siap menerima jawabanlah yang tidak mudah ditemukan. Akhirnya jawaban yang keluarpun ‘sekenanya’ ; “akh, ini hanya fashion”. Berlagak sebagai perempuan modis tapi bodoh, akupun bersikap masa bodoh. Bukankah mungkin hanya jawaban seperti itu yang mereka inginkan?. Selesai.
Dengan kesanggupannya melontarkan pertanyaan semacam itu, aku tau jawabanku bukanlah jawaban yang mereka harapkan. Mereka hanya orang-orang yang mengkhawatirkan keimananku atau bahkan mengkhawatirkan keimanannya sendiri; hanya karena ritus, symbol keagamaan dan apapun yang melekat kepadanya.
##############
Café mulai sepi, ketika pembicaraan mulai berputar kearah yang itu-itu saja, dan lawan bicara dihadapanku sudah melirik jam tangannya beberapa kali yang akhirnya memberi dorongan ekstra bagiku untuk tau diri dan beranjak pulang. Padahal untuk alasan tertentu tidak benar-benar ingin pulang. Aku sedang asik melakukan apa yang aku sebut ritual “merasakan”.
Aku “punya tujuan’. Ya, hampir selalu seperti itu. Nyaris mustahil, aku membiarkan diriku membuang-buang waktu untuk mau terlibat berjam-jam dalam sebuah kerumunan (obrolan) tanpa memiliki maksud dan tujuan tertentu yang ingin kucapai dan kucicil sedikit demi sedikit.
Malam itu berperan sebagai pengamat aku rasa sudah cukup bagiku. Memperhatikan sebaik-baiknya bagaimana cara orang menyampaikan gagasannya, dan menyerap energy sebanyak-banyaknya. Hanya itu. Dan itupun sudah cukup melelahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H