Mohon tunggu...
Fatia Magistra
Fatia Magistra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sonya Depari dan Dunia Maya: Refleksi Cyber-Bullying di Indonesia

16 Mei 2016   20:09 Diperbarui: 16 Mei 2016   20:27 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sonya Depari (kanan) dengan Ipda Perida Panjaitan (kiri). Sumber: bintang.com

Siapa yang tidak kenal Sonya Depari? Remaja perempuan asal Medan ini sempat membuat heboh dunia Internet Indonesia karena sebuah video yang merekam dirinya sedang marah-marah pada seorang polwan pada hari pengumuman kelulusan ujian nasional. Sonya sempat menjadi bulan-bulanan para netizen atau pengguna internet di Indonesia akibat perilakunya yang bagi banyak orang tidak pantas.

Dalam kaitannya dengan kasus Sonya, masyarakat Indonesia modern kini amat erat kaitan dan kesehariannya dengan Internet. Sebagai contohnya, Jakarta adalah kota yang paling aktif dalam menggunakan Twitter di dunia. 92.9% populasi internet di Indonesia juga menggunakan jejaring sosial Facebook. (Carter-Lau, 2013) Hal ini kemudian menciptakan interaktivitas (interactivity), yaitu sebuah kondisi dimana komunikan harus selalu aktif melakukan kegiatan seperti mengunggah, meninggalkan komentar, mengunduh, dan lain sebagainya. (Steuer, 1995) Semua hal ini terjadi di dunia maya dan menghasilkan kultur maya (cyber culture) yang memiliki berbagai macam dampak.

Cyber culture atau budaya maya, menurut American Heritage Dictionary (2000) adalah sebuah budaya yang muncul karena penggunaan komputer dengan jaringan (computer networks), untuk hal- hal seperti komunikasi, hiburan, pekerjaan, dan bisnis. Sedangkan, cyber space adalah ruang tempat budaya itu terjadi. Cyber space bisa merupakan ruang chatting maya, jejaring media sosial, ataupun website. Sedangkan cyber bullying adalah tindakan bully atau penindasan yang terjadi di dunia maya.

Cyber bullying mulai terjadi pada Sonya setelah videonya tersebar di dunia maya. Dalam video ini, Sonya yang diberhentikan oleh seorang polisi wanita (polwan) bernama Ipda Perida Panjaitan saat sedang konvoi dalam mobil Honda Brio BK1428IO dalam rangka merayakan kelulusan Ujian Nasional (UN). Kejadian di Jalan Hang Tuah, Medan, Provinsi Sumatra Utara ini terjadi pada tanggal 6 Maret 2016.

Kisahnya, Sonya menolak ditilang oleh Ipda Perida dan mengatakan bahwa ia adalah anaknya jendral, lebih tepatnya, Irjen Arman Depari dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Sonya juga mengancam sang polwan untuk "ditandai" dan bahkan berpura-pura menelpon sang jendral.

Seseorang merekam kejadian ini dan nama Sonya Depari pun meledak di dunia maya di Indonesia. Netizen atau para penghuni dunia maya pun mengecam Sonya dan menyerbu jejaring sosial sang siswa, seperti Instagramnya. Berita ini pun meluas hingga masuk televisi. Bahkan, kabarnya, ayah Sonya yang sedang rawat inap di rumah sakit sangat kaget hingga meninggal.

Pelajaran dari Fenomena Sonya

Internet pada dasarnya bukan merupakan utopia, sebuah kondisi dimana orang-orang dari seluruh dunia bergabung dan membentuk komunitas yang setara. Namun, Internet juga bukan distopia yang penuh dengan individu-individu yang kesepian. Seperti bentuk komunikasi lain, Internet berguna ataupun berbahaya tergantung mereka yang menggunakannya. (Katz dan Rice, 2002) Dalam kaitannya dengan kasus Sonya, internet dapat menyediakan konsekuensi sosial berupa kecaman atas sikapnya yang tercela dalam menghadapi masalah.

Konsekuensi sosial internet dari perbuatan seseorang tidak selalu negatif, tidak seperti beberapa studi pada era 1990an. (Valkenburg dan Jochen, 2009) Konsekuensi sosial yang diterima oleh Sonya ini, misalnya, terjadi karena Sonya memang melakukan perbuatan yang tidak terpuji, bahkan menjurus ke arah nepotisme. Sonya mengaku sebagai anak dari seorang jendral dengan harapan mampu lolos dari jeratan hukum. Seandainya internet tidak ada, maka kasus Sonya hanya akan selesai di situ.

Hukum di Indonesia cenderung tidak mampu menjamah orang- orang tertentu dan Sonya memahami hal ini. Internet menyebarkan tindakan Sonya dan memberikan sanksi sosial, berupa kecaman. Kedepannya, orang-orang akan berpikir dua kali apabila akan melakukan perbuatan tercela di tempat umum, baik karena emosi maupun tidak, karena ada konsekuensi sosial yang hadir karena adanya internet. Hukuman yang didapatkan para pelanggar hukum tidak hanya hukuman dari negara atau hukum formal, melainkan juga hukuman sanksi sosial atau informal dari para netizen.

Efek dari tekanan dari dunia maya ini memiliki setidaknya dua efek positif. Yang pertama, ada konsekuensi sosial ekstra dari perbuatan seseorang di dunia nyata. Sonya barangkali bertingkah seperti itu di dunia nyata tanpa menyadari bahwa kelak videonya akan direkam dan dia akan mendapatkan respon tidak hanya dari dunia nyata, seperti misalnya orang-orang yang kebetulan ada di lokasi dan menyaksikan sang remaja berbicara dengan polisi wanita, tetapi juga ada respon dari dunia maya. Konsekuensi ganda, yaitu konsekuensi dari dunia nyata dan juga maya, ini akan memberikan peringatan bagi orang-orang untuk tidak berbuat seenaknya, agar mereka tidak menjadi Sonya-Sonya yang lain di masa depan. Konsekuensi ini memiliki sifat mengejutkan, karena hadir dari dunia internet, yang dulunya tidak ada. (Toffler, 1970)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun