Beberapa minggu lalu dua bencana alam melanda negri kita dalam selang waktu yang begitu dekat. Tsunami di kepulauan Mentawai yang masih luluh lantah serta erupsi Gunung Merapi yang sampai saat ini belum jelas akhirnya. Begitu akrabnya Indonesia dengan bencana yang seharusnya menjadi musuh yang setiap saat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation of Disaster, nampaknya julukan itu memang begitu cocok bagi nusantara ini karena sekitar 83% wilayahnya memang rawan bencana. Bencana itupun tak melulu kuasa alam, tetapi karena ulah dan perilaku manusia yang dengan sengaja merusak hubungan baik kita dengannya. Sangat sakit jika bencana yang seharusnya tak terjadi harus menyapu dan menrusak ketenangan hidup masyarakat Indonesia.
Alam tak bisa dipersalahkan jika kita terlebih dahulu yang memulai pertentangan. Tanpa alam, kita tidak dapat hidup . Alam merupakan bagian penting kehidupan, Â selain hubungan dengan sesama, manusia juga harus menjaga hubungannya dengan alam. Walau manusia terus berevolusi, selalu menjadi sesuatu yang lebih dari sebelumnya, hal tersebut tidak dapat menandingi tabiat alam yang tak dapat diubah dari waktu ke waktu. Alam tidak menunjukkan sifat asli mereka secara blak-blakan, dengan dingin sewaktu-waktu alam dapat melampiaskan amarah dan emosinya terhadap umat manusia. Walau dapat diprediksi, tapi kita tidak bisa lari. Kemanapun kita bersembunyi alam selalu menguntit dibelakang kita. Tak ada perjanjian perdamaian pasca gempa, atau gencatan senjata pasca erupsi gunung berapi, kita tak bisa melobi alam untuk tidak meluapkan amarahnya. Kita hanya dapat menerima apa yang akan terjadi, pasrah kepada Tuhan, dan mempersenjatai diri kita agar siap melawan ketika bencana itu menerpa kita. Kejadian tersebut merupakan babak wajib dalam kehidupan di bumi ini. Ibarat sebuah drama, dalama adegan inilah tersirat pesan yang ingin disampakan pada jutaan umat manusia. Satu esensi namun dalam beragam bentuk yang ada dalam kepala tiap-tiap insan. Juga akan hadir bermacam-macam output yaitu tindakan dan tanggapan bagi mereka yang mau tak mau harus berperan dalam adegan tersebut.
Sekejap, trilyunan dana tergalang dari berbagai lapisan masyarakat. Bantuan hilir mudik, tak hentinya diberikan kepada korban bencana. Terima kasih kepada media yang selalu bekerja keras dan berkomitmen tinggi untuk tak henti-hentinya melaporkan situasi dan kondisi di tempat-tempat yang terkena bencana. Melalui hal inilah mata kita terbuka bahwa mereka membutuhkan uluran tangan dan satu hal lain bahwa kita harus banyak-banyak bersyukur sekaligus bertobat kepada Yang Maha Esa. Mungkin saja ini seperti bermain ular tangga, giliran kita belum datang, dan semoga saja angka dadu yang kita lempar tak menjerumuskan kita pada kepala ular yang membuat kita terjatuh beberapa kotak dibawah. Sekalipun itu bukan keberuntungan kita, tapi dadu tersebut akan kembali ke tangan kita dan kita harus kembali melemparnya hingga kita mencapai papan yang ke-100.
Selalu bangkit setelah jatuh, sekalipun kita tertimpa tangga, kita harus kembali berdiri tegar dan kembali menaiki tangga tersebut untuk mencapai puncak yang ingin kita capai. Begitulah kita sebagai abdi setia Nation of Disaster. Perjuangan kita tak akan ada habisnya. Penjajah sudah tak lagi eksis, namun masih ada alam yang menguasai kita saat ini. Sebagai rakyat biasa, kitalah palang pintu utama yang harus mati sia-sia karena kurangnya kapasitas pemimpin negara yang semakin hari semakin bobrok dan menurun. 83% rawan bencana, maka 17% sisanya adalah harapan hidup kita. Seandainya pemimpin negri ini lebih cakap dan tahu diri, mau bertobat dan mengabdi kepada rakyat, banyak nyawa yang bisa terselamatkan dari musibah di Mentawai dan Merapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H