“Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia”diperingati setiap tanggal 31 Mei, sekitar sepuluh hari yang lalu. Bagi orang-orang yang tidak merokok, hari tersebut bisa dikatakan sebagai hari perlawanan terhadap rokok. Berbeda halnya dengan para perokok, menurut hasil observasi asal-asalan yang saya lakukan, masih banyak perokok yang merokok di hari tersebut. Saya salah satunya.
Jika level perokok digolongkan menjadi beginner, intermediate, dan expert, maka saya berada di tingkatan yang paling awal. Saya memang baru-baru saja mengenal rokok dan positif menjadi seorang perokok. Berawal dari coba-coba, sekarang sudah menjadi terbiasa. Rokok ibarat menjadi sahabat sejati, apalagi ketika berada pada momen-momen yang “memaksa” para perokok untuk menyalakan rokok, seperti ketika stress saat pekerjaan menumpuk, dikejar deadline, atau sedang dalam perasaan yang gundah gulana. Bagi saya, poin yang disebutkan paling akhir adalah saat-saat mengasyikkan menikmati rokok. Dan mungkin hal-hal semacam itulah yang menyebabkan banyak perokok tidak “memperingati” hari tersebut karena memang rokok harus selalu ada di setiap waktu. Jika tidak merokok, konon katanya ada sesuatu yang janggal di tubuh, yang paling banyak dikeluhkan biasanya adalah lambene kecut (bibirnya asam).
Terlepas dari konteks bahaya merokok, rokok sudah menimbulkan adiksi yang berlebih, dan hal tersebut mejadikan sebuah kebiasaan. Kebiasaan inilah yang kadang menyebabkan perokok menomorduakan tata kelakuannya. Ketika merokok, para perokok kadang melupakan dan bahkan tidak menggubris konsep ruang dan waktu. Padahal dalam ruang dan waktu yang bersamaan, ada orang-orang yang tidak merokok yang disebut sebagai perokok pasif. Ambil contoh ketika kita nongkrong. Di Solo, istilah nongkrong sudah bisa diasosiasikan dengan HIK (baca: wedangan). Ketika di wedangan banyak hal yang diobrolkan, dan akan lebih asyik jika ditemani dengan rokok. Apalagi ketika obrolan tersebut menarik, bisa kamu tebak berapa batang rokok yang dibakar?
Saya bukan seorang anggota Komnas HAM, tapi hak asasi para perokok pasif harus turut dibela. Mereka mempunyai hak untuk menikmati udara segar tanpa kontaminasi asap rokok. Di situlah letak tata kelakuan dari sebuah kebiasaan merokok yang salah. Perokok tidak sadar diri kalau di sekitarnya ada orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan pengalaman saya, dilihat dari gestur ada para perokok pasif yang menutupi hidung mereka ketika para perokok sedang merokok; ada pula yang memandangi seperti memberikan isyarat, “Mas, tolong rokoknya dimatikan”; ada pula yang berkata, “Asapnya dong….”; dan jika berhadapan dengan perokok pasif “ekstremis”, ia tak segan menyuruh perokok untuk mematikan rokoknya.
Inilah yang memotivasi saya untuk menjadi seorang perokok yang baik. Perokok yang baik adalah seorang perokok yang sadar posisi dan sadar diri. Sadar posisi maksudnya adalah saya sebagai perokok harus tahu di manakah saya berada. Jika berada di lingkungan perokok, saya tak segan untuk membakar rokok. Tapi ketika berada di public area atau di lingkungan yang mana perokok aktif dan pasif membaur, saya harus berpikir beberapa kali apakah saya pantas membakar rokok. Sedangkan sadar diri adalah saya sebagai perokok tahu bahwa di dalam rokok terdapat kandungan-kandungan yang tidak baik bagi tubuh, sehingga saya sekarang sudah mengurangi intensitas merokok saya. Untuk masalah ini, mungkin ini hal yang mudah bagi saya karena saya adalah seorang perokok berlevel beginner, kecuali jika saya sedang stress atau tiba-tiba menjadi melankolis, rokok harus menjadi seorang sahabat. Oh iya, sebagai perokok juga harus cinta kebersihan, itu masuk di dalam konsep sadar diri. Kadang perokok membuang puntung dan abu rokok tidak pada tempatnya. Mintalah asbak ketika kamu berada di warung, dan jangan sekali-kali membuang abu/puntung ke piring atau gelas karena piring dan gelas tersebut masih dipakai oleh orang lain.
Rokok adalah permasalahan kompleks bagi negeri ini. Entah rokok dalam wujudnya sendiri atau attitude dari para perokoknya. Namun jika kita menjadi perokok yang baik (ditandai dengan sadar diri dan sadar posisi), setidaknya kita bisa mengurangi pro kontra rokok. Rokok memang mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh, biarkan perokok aktif yang “menikmati” itu sendiri. Toh, “kenikmatan” itu tidak dilarang oleh pemerintah, agama, dan kehidupan sosial, kan? Yang terpenting, merokok juga harus mempunyai etika.
Ahhhh… Semoga saya suatu hari bisa berhenti merokok. Doakan saja :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H