Mohon tunggu...
Reza Kurnia Darmawan
Reza Kurnia Darmawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bernama lengkap Reza Kurnia Darmawan. Sekarang sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Sebelas Maret Solo, Jurusan Sosiologi, angkatan 2008. Menyenangi seni terutama teater, dan sekarang aktif juga di teater kampus FISIP yaitu Teater SOPO.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Solo Bersabar: Sebuah Ode Buat Kota

12 Agustus 2013   14:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:24 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tuk suara bising di tengah jalan
Tuk suara kaki yang berlalu-lalang
Tuk suara sirene raja jalanan
Tuk suara sumbang yang terus berdentang”
(Bangkutaman-Ode Buat Kota)
Assss kampret!”, umpat saya dalam hati. Jalanan kota Solo siang itu memang layak umpat. Coba bayangkan , baru jalan berapa meter, eehhhh, udah ngerem lagi. Jalan lagi, ngerem lagi. Belum lagi suara klakson yang bersahut-sahutan ibarat koor massal di jalanan. Siang panas yang terik juga berkontribusi menambah emosi, terutama bagi pengendara motor. Sungguh, jalanan siang itu cocok dijadikan media terapi pengendalian emosi.
Yah, begitulah kondisi Kota Solo menjelang perayaan Idul Fitri. Solo sukses berubah menjadi Jakarta versi mini. Pantas saja koran lokal Solo pada H-2 Idul Fitri menulis headline “Solo Macet” yang disertai perbandingan gambar kondisi jalanan Solo dan Jakarta. “Kemacetan mengepung Kota Solo pada H-3 Lebaran, Senin (5/8). Bahkan sejumlah ruas jalan kondisinya nyaris lumpuh.”, begitulah kalimat pembuka berita tersebut. Solo memang tidak bersahabat ketika momen Idul Fitri datang. Sudah seharusnya slogan “Berseri” kota ini diubah menjadi “Bersabar” setiap akan memperingati Idul Fitri.
Yap, kita memang harus bersabar menghadapi kondisi ini. Menjelang Idul Fitri, jalanan di kota ini didominasi oleh: 40% motor, 35% mobil, dan 25% emosi. Limpahan kendaraan baik itu warga asli maupun pendatang seakan-akan menjadikan jalanan seperti showroom dadakan. Jalanan Solo yang tidak selebar Jakarta, ditambah muatan jalan yang sudah overload, menjadikan kita harus ekstra berlapang dada. Apalagi ketika melintasi titik-titik kemacetan seperti Gladag, area Pasar Klewer, dua mall di Slamet Riyadi, kita harus mempersiapkan kesabaran sejak keluar dari pintu rumah. Apa mau gara-gara macet orang berbuat anarki? Bayangkan, pengendara berkelahi dengan pengendara lain, kaca-kaca mobil dipecahi, bus dibakar, truk dirampas muatannya. Jika itu benar-benar terjadi, maka macet tak ubahnya Reformasi ’98.
Kadang macet membuat orang kehilangan sisi rasionalitasnya. Apa yang saya tulis di paragraf pertama bisa dijadikan contoh. Kita tahu kalau jalanan sedang macet parah, tapi ada beberapa orang yang ngeyel membunyikan klakson. Kamu pasti pernah menjumpai orang-orang seperti mereka. Ada lagi orang-orang yang ingin mencari jalan pintas dari penuh sesaknya jalanan. Mereka adalah orang-orang yang biasanya melanggar peraturan lalu lintas. Padahal jika disadari, “aksi” mereka malah membuat kemacetan baru dan membahayakan dirinya sendiri juga orang lain. Emosi ketika macet adalah hal yang manusiawi. Walaupun emosi tapi tetap harus berlandaskan pada rasional. Jangan malah kita melakukan hal-hal yang justru memancing emosi orang lain. Karena kata Aa’ Gym kesabaran orang itu ada batasnya, betul tidak?
Adalah hal yang lumrah ketika orang rantau merindukan keluarga dan tanah kelahirannya pada saat Idul Fitri tiba. Tapi ya itu tadi, kehadiran mereka di tempat asal malah membuat “fenomena” baru: macet. Di luar Idul Fitri, kadang Solo juga macet sih. Mmmm, saya malah kepikiran, jika saja urbanisasi itu tidak ada. Jika saja mindset orang tidak menjadikan Jakarta atau kota-kota besar lainnya sebagai Kota Impian dan Kota Harapan. Jika saja Solo mempunyai banyak lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang lumayan. Jika saja Solo adalah kota awal hidup dan mati.
Saya juga kepikiran, apa jadinya saya bila saya harus merantau ke Jakarta, berkeluarga di sana, berganti KTP sebagai warga Jakarta, dan menjadikan Idul Fitri sebagai momen pulang kampung? Pastilah jika itu terjadi, akan ada orang lain yang menulis semacam ini, menceritakan kepenatannya tentang Solo yang macet saat Idul Fitri tiba. Entahlah…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun