Bertepatan dengan Inbox dan Dahsyat saat mengudara, saya di-sms oleh kakak tingkat teater yang sudah ber-title alumni (dia bernama Mas Rudy). Dia menanyakan, “Za, wis weruh headline Solopos hari ini?”. Saya hanya bisa tersenyum membaca sms-nya, karena sebelum dia mengirim sms kepada saya, saya sudah membaca headline koran tersebut, walaupun hanya sebatas membaca headline-nya saja, belum isinya. Tapi saya sudah bisa menebak motivasi kenapa dia mengirimkan sms seperti itu. Saya pun mengambil koran, lalu membaca isi dari berita tersebut. Selama membaca isi berita tersebut, dugaan saya semakin kuat dan saya sesegara mungkin mengambil kesimpulan, dan kesimpulan tersebut saya tuangkan dalam sms balasan untuknya dengan kalimat, “Sudah, mas. Wah ini pasti tentang konspirasi, hahaha…” Memang, saya dan Mas Rudy adalah contoh dua insan manusia yang menggemari teori konspirasi. Kami hanyalah “penikmat” dari data-data teori yang banyak diungkapkan di internet dan buku. Kami berdua hanyalah contoh orang yang memandang fakta bukan hanya dari sudut saja. Kadang fakta bisa dikaburkan, dan kadang ada banyak cerita menarik dari behind the fact tersebut. Di situlah fungsi teori konspirasi. Kami tertarik dengan cerita UFO, kami tertarik dengan Adolf Hitler yang meninggal di Surabaya, kami tertarik dengan Illuminati. Dan saya percaya, kenapa saya menjadi jomblo akut, pasti disebabkan oleh campurtangan Zionis.
Lalu apa hubungannya headline Solopos dengan teori konspirasi?
Solopos edisi, Senin Pon, 29 April 2013, menuliskan headline, “Awas, Buah Impor Berformalin!”. Dalam reportasenya, mereka menulis bahwa dari 13 buah impor yang telah mereka ambil sebagai sampel dari kios buah di pinggir jalan dan supermarket, yang kemudian mereka uji di Balai Laboratorium Kesehatan, hasilnya adalah hanya satu buah yang tidak mengandung formalin. “Sunggguuhh mirrriisss”, begitu kalimat yang biasa diucapkan seorang narrator berita reportase di TV. Selain formalin (yang berguna agar bertahan lama), buah impor juga diberi zat pemanis buatan (agar terasa lebih manis dibanding buah lokal). Dan zat-zat berbahaya yang berkamuflase sebagai sumber nutrisi bagi tubuh, jika kita konsumsi secara terus menerus akan mengakibatkan diare, kanker hingga bahkan kematian.
Zat pengawet (formalin), zat pemanis buatan (aspartame) adalah zat-zat yang dalam dunia teori konspirasi cukup diwaspadai. Rizki Ridyasmara dalam buku novel karangannya yang berjudul “Codex” menceritakan bahwa di dalam makanan, minuman, bahkan obat-obatan sekalipun, telah disusupi racun oleh para invisible hand. Aspartame dan bahan pengawet merupakan salah duanya. Ini semua dilakukan oleh para oknum-oknum tersebut untuk memuluskan agenda depopulation program, yang dalam skala besar untuk menunjang tercapainya New World Order. Bagi kamu yang belum tahu tentang kedua istilah tersebut, Google lebih pintar menyampaikan daripada saya. Atau silakan baca buku Rizki Ridyasmara tersebut. Belum punya? Mau saya pinjami?
Saya sendiri pun juga masih bingung, apakah benar apa yang ditulis oleh Rizki tersebut? Kita pun sering mengkonsumsi zat-zat seperti itu, tapi buktinya, kita masih diberi kesempatan bernafas oleh Tuhan. Lalu jika kamu bertanya, “Kenapa acara reportase di TV tidak mengungkapnya?”, maka jawaban saya adalah: bisa jadi kasus tersebut memang hanya isu, dan fakta-fakta baru yang tertuang dalam teori konspirasi hanyalah sekedar teori, belum bisa dibuktikan secara factual. Namun bisa juga kenapa konglomerasi media tidak mengungkapnya, ini karena konglomerasi media merupakan bagian dari invisible hand tersebut, dan tugas dari mereka adalah untuk mengelabui masyarakat. Sinopsis buku tersebut mengatakan “Jika Anda masih tidak percaya dan menyodorkan banyak analisa yang menyangkal semua ini, maka Anda telah ditipu habis-habisan oleh Disinformation Unit CIA yang memang bekerja untuk menipu dunia.”
Teori konspirasi memusingkan, ya?
Baiklah, paragraf ini dan ke depannya tidak akan membahas teori konspirasi lagi. Saya janji! Kalaupun ada tulisan tentang teori konspirasi, itu bukan saya yang menulis, itu pasti campurtangan Zionis!
Media. Semua orang sudah mengenal media dan hampir pasti mengkonsumsinya. Siapa yang tidak tahu kasus Adi Bing Slamet vs Eyang Subur? Kasus tersebut berkembang dan menjadi konsumsi masyarakat berkat andil dari media. Adakah yang tidak tahu kalau Presiden SBY membuat akun twitter? Bagi yang tidak tahu pasti tidak mengikuti media. Seperti tagline sebuah acara infotainment, “Tak ada kabar yang tak kami Kabar Kabari”, begitulah media. Banyak tayangan yang disajikan oleh media untuk memberikan kabar, tayangan reportase salah satunya. Prinsipnya sama dengan tayangan berita konvensional, akan tetapi mereka lebih menyoroti tentang “kasus-kasus yang terselubung” seperti pernikahan siri di kawasan Puncak, tabiat oknum yang melalukan pungli di jalanan, dan yang paling sering adalah proses “pengkimiawian” makanan.
Untuk berita reportase yang ditulis di belakang, merupakan berita penelusuran yang sering dimunculkan ke public. Beritanya terkait makanan yang diolah dengan bahan-bahan yang tidak sewajarnya digunakan untuk dikonsumsi, seperti obat pewarna makanan, borax, formalin, dan sebagainya. Trik itu digunakan untuk mengelabui konsumen. Ini sama saja dengan girl band-boy band Korea yang wajahnya dipermak sedemikian rupa agar menghasilkan point of view yang menarik, ditambah dengan packaging dengan embel-embel sensual dan maskulin sehingga pasarpun bertekuk lutut, ABG-ABG dibuat kalang kabut, dan beberapa pria dewasa dibuat….Ah sudahlah, lupakan dominasi girl band Korea, imajinasi saya terlalu liar untuk dituliskan di sini.
Seperti analogi girl band-boy band Korea tersebut, tampilan memang menjadi obat pembius paling mujarab. Terkait dengan materi di atas, pasar memang menyukai barang-barang yang eye catching, sehingga untuk mendapatkan pasar, beberapa orang yang bermain jahil, melakukan trik-trik untuk menarik minat pembeli. Ketika trik-trik tersebut dimunculkan dalam tayangan reportase, tayangan tersebut akan mempengaruhi pola pikir kita. Walaupun tidak semua penjual berlaku jahil, tapi tayangan tersebut akan mengeneralisasi pola pikir kita. Mengeneralisasi pola pikir maksudnya adalah, misal, ada penjual bakso yang memakai formalin dan kita tahu dari tayangan tersebut, pastinya ketika kita akan membeli, kita akan waspada dan malah memilih untuk tidak memakan bakso. Kalau begitu, siapa yang dirugikan?
Saya bukannya ingin mengkritik tayangan reportase, tayangan reportase merupakan tayangan yang informatif, akan tetapi dari tayangan tersebut, konsumen seolah-olah dibuat bingung hendak mengkonsumsi apa? Ketika hendak memakan ini takutnya ada zat seperti ini, ketika memutuskan makan yang itu takutnya dibuat dari bahan itu. Mass consume hysteria, itulah istilah yang coba saya berikan terhadap fenomena ini. Dan mayoritas tayangan reportase yang berkaitan dengan makanan, selalu dimunculkan dalam bentuk pedagang kecil atau pedagang kaki lima yang melakukan kecurangan. Sehingga seolah-olah, kita digiring untuk mengkonsumsi makanan yang bukan dari kaki lima. Peribahasa Jawa yang telah dikenal, ana rega ana rupa, kembali menampilkan fakta. Ketika kamu ingin makanan yang berkualitas, maka harus ada upaya untuk itu. Dan upaya tersebut berbentuk uang. Padahal daya beli masyarakat Indonesia, yang didominasi masyarakat menengah-ke bawah, masih lemah. Untuk mencari makanan yang berkualitas dengan harga yang juga bersahabat, masih susah. Mau tidak mau, mereka juga tetap mengkonsumsi makanan-makanan yang berada pada “zona merah”, karena makanan adalah kebutuhan utama manusia.
Kita seharusnya menjadi konsumen yang pintar dalam memilih produk. Karena produk-produk yang ada di pasar belum terbukti mutu, kualitas dan keabsahannya. Peran media memang penting, tapi jangan terlalu “menakut-nakuti” calon konsumen. Toh, walaupun tayangan reportase memang marak, tapi ketika masalah perut yang berbicara, kualitas produk kita nomor duakan. Saya pun begitu, saya masih mengkonsumsi gorengan, walaupun saya tahu ada penjual yang memasukkan tas plastik untuk memberikan efek renyah pada gorengannya. Saya juga masih mengkonsumsi es cendol, walaupun saya tahu warna hijaunya sangat terang akibat bahan pewarna pakaian yang dipakai, dan itu malah membuat saya bingung, saya mengkonsumsi cendol atau Hulk?
Akhir tulisan: biarlah konsumen memilih sesuai kebutuhannya.
“A common threat sits in our house
They keep on warning me
But I'm not always listening….Please provide us with guidance….”
(Comeback Kid-Broadcasting)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H