“Mas Slamet..” suara seorang perempuan yang seumuran istrinya memanggil. Iya, Hapsari, baru saja sampai. Slamet menaruh cangkul dan bergegas menghampiri Hapsari. “Ini dari Hartini, tadi dititipin ke Saya,” katanya. “Wah, terimakasih ya, Sari,” jawab Slamet sambil memicingkan mata ke arah petugas yang membawa pentungan. Hapsari yang paham dengan maksudnya, segera pamit dan meninggalkan tempat.
***
Suara tanah yang diseok-seok berhenti. Hartina yang mendengar suara itu pun penasaran. Ia ragu ingin keluar untuk melihatnya atau tidak. Tetapi sekali lagi, pesan Hapsari diingatnya. Hartina kemudian sekali lagi memohon ampun kepada Tuhan dan berdoa agar dihindarkan dari bala. Setelahnya, Ia mengintip dari lubang dinding yang berongga. Ia terkaget dan berbalik badan. Sekali lagi memohon ampun, berdoa dan mengintip kembali.
Ia dapati seorang pemuda putih berpawakan tegap dengan pentungan, ditemani dua pemuda sawo matang lainya. Dua pemuda itu menyeret satu pemuda sawo matang lagi yang kakinya dibalut robekan kain bersimbah darah. Hartina memantapkan intipanya, memastikan siapa pemuda yang sedang diseret itu. Ia tak dapat melihatnya dengan jelas, hanya tanda-tanda wajah yang tak sama dengan Slamet yang Ia dapati. Hartinah menghela nafas, segera ke kamar dan memilih untuk berbaring menunggu kepastian. Hingga sore akhirnya tiba, mendengar suara ketukan, Ia terbangun dari tidurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H