Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Tuak di Pulau Jawa: Sudah Dikenal pada Masa Kuno!

20 September 2022   03:13 Diperbarui: 28 Oktober 2022   22:22 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal yang serupa dapat ditemukan di Kakawin Sutasoma (XCI : 15), mengenai pemberian jatah kepada seluruh rombongan Raja Kasi. Jatah tersebut berupa nasi yang amat banyak, tuak, badeg, waragang, kilang, brem serta tampo yang mengalir tanpa henti dan pada akhirnya tak terlukiskan. Setelah Raja Kasi mendudukkan Sri Jinamurti di depan dan kembali pulang, mereka kemudian tiba di istana. Hal yang berbeda dan menarik terdapat pada Naskah Pararaton hasil sailnan tahun 1613. Diceritakan pada tahun 1291 (1213 Saka) Raja Jayakatwang dari Kadiri menyerang Raja Krtanegara "Sira Bathara Siwa Buddha pijer anadhah sajeng" bahwasanya saat Raja Krtanegara masih meminum minuman keras. "Sambi atutur kamoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng," bahwa meninggalnya berada di tempat minum tuak.

Raja Krtanegara menganut Buddha Tantrayana, tujuan akhirnya adalah sunyaparamananda yakni tingkatan hidup Adibuddha yang abadi dan mengecap kebahagiaan tertinggi, wujud hakikatnya adalah kesunyatan. Untuk mencapai itu, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II sebagaimana dikutip (Nugroho, 2015), "Salah satunya dengan meminum minuman keras (madya), orang yang melaksanakanya akan dapat mencapai tingkatan sunyaparamananda semasa dia hidup dengan ditahbiskan sebagai jina." Dengan begitu Raja Krtanegara meminum tuak lewat sebuah ritus, bukan untuk memenuhi kebutuhan profan, tetapi kebutuhan transedental yang berkaitan dengan spiritual atau keagamaan. Selain prasasti dan naskah, folklore atau cerita rakyat yang menyinggung tuak berkaitan dengan Kerajaan Majapahit pun tidak sedikit, salah satunya folklore dijebaknya tentara Mongol dengan meminum tuak sebelum dibantai.

Berikutnya di Masa Kolonial, tokoh legenda Betawi, Si Pitung dalam sebuah koran Hindia Olanda edisi 18 Oktober 1893 sebelum meninggal dalam keadaan sekarat setelah tertangkap, meminta segelas tuak manis dan es lewat penjaganya, namun permintaanya tidak dipenuhi. "Koetika ia maoe mati, coema ia bisa minta pada penjaganya, satoe gelas toeak manis dan es, tetapi tidak sampai dikasi." Entah alasan pasti Pitung melayangkan permintaan tersebut, yang jelas bila segelas tuak manis ditambah es tentunya akan menjadi minuman enak dan segar. Di masa sekarang, tuak masih ada, di Pulau Jawa nun paling terkenal ialah tuak dari Tuban yang berasal dari pohon siwalan. Namun, pemanfaatanya tidak sesering dan 'seumum' dahulu, ada beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi.

Di antara faktor tersebut adalah; 1) latar agama dan peraturan daerah yang melarang, 2) branding dan packing yang belum modern atau kekinian, serta 3) pengolahan bahan baku alami menjadi tuak yang terbilang terbatas. Tuak terkadang masih bisa dijumpai pada acara-acara seperti hajatan dan kenduri di daerah atau desa yang terbilang dekat dengan pusat produksinya, di beberapa daerah atau desa tersebut tuak terkadang menjadi minuman suguhan untuk menikmati acara dan begadang. Di beberapa daerah atau desa sekitarnya juga, tuak menjadi minuman pelega dahaga bagi pekerja, petani hingga pedagang yang akan atau telah melaksanakan kegiatanya. Pula bagi sebagian kalangan muda, tuak menjadi minuman favorit dan terkadang menjadi oleh-oleh yang dibawa ketika berpergian jauh.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tuak adalah salah satu minuman yang terbilang populer bagi masyarakat Jawa kuno, terutama pada Masa Mataram Kuno, Medang hingga masa Majapahit. Minuman ini tercatat beberapa kali dalam prasasti dan naskah kuno. Selain disajikan dalam acara formal dan pesta, juga disajikan dalam ritus atau upacara sakral. Artinya, selain dimanfaatkan untuk kebutuhan profan yang bersifat duniawi, tuak juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan transedental yang bersifat 'surgawi'. Hingga di masa kolonial dan kemerdekaan, tuak masih cukup populer dan umum diminati. Sedangkan di masa sekarang, tuak terkadang berselimut ke-'tabu'-an terutama karena faktor latar agama dan peraturan daerah, tuak pun hanya populer di daerah-daerah yang tidak jauh dengan pusat produksinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun