Antropologi menjadi salah satu ilmu yang diperhitungkan dan diperlukan bagi seorang sejarawan, tentu saja kaitanya dengan adanya hubungan antara ilmu antropologi dan ilmu sejarah. Oleh sebab basic, dasar atau sudut pengambilanya memakai tema utama sejarah, biasanya seorang sejarawan memposisikan antropologi sebagai ilmu bantu untuk mengupas atau menganalisis permasalahan, objek atau kajian yang sedang dikaji. Namun bukan tidak mungkin hal sebaliknya terjadi, yakni sejarah menjadi ilmu bantu bagi seorang antropolog yang barang tentu menggunakan tema utama antropologi, sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu antropologi menyumbang banyak teori untuk ilmu sejarah, begitu pula sebaliknya, ilmu sejarah menyumbang banyak teori bagi ilmu antropologi.
Selanjutnya sebelum itu, perlu dipahami apa pengertian ilmu antropologi dan ilmu sejarah. Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani, yakni anthropos dan logos yang berarti manusia dan ilmu atau nalar. (Kamus Antropologi, hal. 28) mengartikan antropologi sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat serta kebudayaanya. Boleh dikatakan, antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan hasil karya dan segala aktivitasnya. Sedangkan sejarah berasal dari akar kata Bahasa Arab syajarah yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah, lain dengan Bahasa Inggris history atau Bahasa Latin dan Yunani historia, dimana kata dasar histor atau istor memiliki arti orang pandai.
Singkatnya menurut Kuntowijoyo dalam (Pengantar Ilmu Sejarah, hal. 14), sejarah adalah rekontruksi masa lalu terkait apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh manusia. Boleh dikatakan, sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau meliputi objek manusia, ruang dan waktu. Sampai sini dapat diketahui, secara pengertian saja sudah ada kesamaan dan perbedaan antara ilmu antropologi dan ilmu sejarah. Pengertian atau definisilah nun sedikit banyak menjadi dasar yang menjembatani dan membatasi hubungan antara ilmu antropologi dengan ilmu sejarah. Berikut, bukan berarti ilmu antropologi dan ilmu sejarah terbatas pada 3 hubungan saja, tetapi 3 hubungan ini yang sekiranya mendasar antar keduanya. Pertama, secara pengertian sama-sama menjadikan manusia sebagai objek kajian.
Dari pengertian yang sudah disebutkan sebelumnya, dapat kita mengerti bahwa ada objek kajian yang sama antara keduanya, yakni manusia. Terlebih kedua ilmu ini sama-sama mengindahkan ruang, hasil karya dan aktivitasnya. Namun dari pengertian kedua ilmu ini, ada juga hal yang menjadi pembeda atau pembatas antara keduanya, yakni masa lampau, peristiwa yang benar-benar terjadi, bentuk fisik dan kepribadian. Itu sebatas dari pengertian kedua ilmu tersebut. Lebih lanjut terkait objek kajian manusia, sejarah memang benar hanya bercerita tentang manusia. Jadi sejarah bukan fabel yang menceritakan hewan, bukan mitologi, mitos, sastra dan legenda yang menceritakan jin, dewa, kekuatan atau mahkluk supranatural lainya. Tidak dipungkiri dalam sejarah ada unsur atau hal-hal yang sifatnya demikian, namun hal tersebut bukan menjadi objek kajian utama.
Sehingga menjadi semacam unsur tanda petik tersendiri dalam sejarah. Sebagaimana kata Kuntowijoyo dalam (Pengantar Ilmu Sejarah, hal. 10), meski sejarah bercerita tentang manusia, namun tidak juga menceritakan manusia secara keseluruhan. Manusia yang berupa fosil menjadi objek kajian penelitian antropologi ragawi dan bukan sejarah. Untuk lebih mudah memahami perbedaan dan persamaan keduanya terkait objek kajian manusia, berikut contoh kasus Suku Samin yang ada di Blora misalnya, yang memiliki peristiwa atau hasil karya berupa budaya. Bilamana ahli sejarah melihat kebudayaan menekankan pada pertumbuhanya dan definisinya sebagai warisan sosial, maka lain soal dengan ahli antropologi yang melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life atau kelakuan (Filsafat Kebudayaan, hal. 27).
Sehingga objek utama sejarawan adalah sosok Samin Surosentiko yang mewariskan warisan-warisan sosial, sedang objek utama antropolog adalah manusianya dengan bentuk fisik, aktivitas-aktivitas dan hubungan lainya sebagai jalan hidup. Kedua, Ilmu sejarah memerlukan metode dari ilmu antropologi untuk memecahkan berbagai persoalan dalam sejarah. Terkadang fakta di lapangan sulit untuk mengungkap konteks suatu peristiwa sejarah. Pendekatan antropologi memungkinkan sejarawan untuk memahami konteks peristiwa sejarah dengan menggunakan konsep kehidupan masyarakat yang berlangsung pada saat peristiwa sejarah itu terjadi. Misalnya terkait sejarah lokal, sistem kepercayaan, agama dan cerita rakyat yang ada di masyarakat. Pun, terkait buah karya berupa benda-benda yang dihasilkan. Yang meskipun itu perbuatan manusia, tetapi lebih menjadi pekerjaan antropologi dan arkeologi.
Pula, benda-benda bagi ilmu sejarah biasanya hanya menjadi sumber, sedang untuk mengupasnya memerlukan ilmu bantu antropologi. Ketiga, antropologi memerlukan catatan sejarah. Mula-mula ilmu antropologi sendiri sebetulnya tidak menjadikan kronologi atau waktu sebagai hal yang perlu diperhatikan, hampir memper dengan ilmu sosial atau ilmu sosiologi, padahal kronologi atau waktu sangat berguna untuk memahami latar belakang masyarakat dan berpengaruh pada objektifitas kajian. Perlu diketahui, Kuntowijoyo pernah menandaskan dalam (Pengantar Ilmu Sejarah, hal. 84-85) bagaimana sejarah menjadi kritik terhadap generalisasi ilmu sosial, contohnya pada kasus Max Weber (1864-1920) dalam metodologi ilmu-ilmu sosial yang menggunakan ideal type untuk mempermudah penelitian.
Ketika dihadapkan pada kenyataan historis yang faktual, ternyata tipe ideal itu banyak yang tidak mempunyai dasar faktual. Contoh kasus dalam bukunya The Religion of China, banyak dikecam karena mengandung kelemahan, tidak peka dengan periodesasi sejarah, dimana kesimpulan-kesimpulan umum mengenai China dibuat dengan menghubungkan fakta-fakta dari periode yang berlainan. Pun buku Karl Wittfogel judulnya Oriental Despotism yang berisi tentang teori hydraulic society. Teori tersebut diambil dari studi tentang adanya despotisme dalam masyarakat pengguna air sungai di sekitar Sungai Nil, Indus dan Yang Tse Kiang. Dimana di sana timbul raja yang berkuasa untuk membagikan air. Kata Kuntowijoyo bila teori tersebut digunakan untuk menganalisis birokrasi di Jawa, pertanyaan “Apakah di tempat ini benar-benar ada hydraulic society?” harus dijawab.
Diakui di Jawa memang terdapat patrimonialisme, namun kekerasan dan kekejamanya bersifat individual, tidak massal, sebab di Jawa raja tidak bisa membiayai tentara yang jumlahnya besar. Sultan Agung misalnya, menggunakan Bupati Pantai Utara, Bahureksa sewaktu menyerbu Batavia pada 1628. Di Bali, teori tersebut juga dihadapkan pada fakta sejarah, sebab urusan air di Bali diatur oleh lembaga subak, tidak oleh negara. Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat dalam (Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 10) menerangkan bahwa ilmu antropologi memperhatikan 5 masalah mengenai makhluk hidup, yakni; 1) masalah pada perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, 2) masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
3) Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh dunia, 4) masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan manusia di seluruh dunia, serta 5) masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dan suku bangsa yang tersebar di seluruh penjuru bumi pada zaman sekarang ini. Sehingga terang sekarang bagi para antropolog, sejarah sangat penting terutama dalam menganalisis karakteristik budaya suatu kelompok etnis. Antropolog terkadang menggunakan metode sejarah untuk merekonstruksi populasi yang telah dipengaruhi oleh budaya luar. Pun sebagai antropolog, penting untuk mengetahui sumber pengaruh tersebut dan bagaimana mula masuknya budaya asing.